Rabu, 16 September 2015

Satuan Acara Penyuluhan (S.A.P) Topik : Peran Perawat Komunitas pada Klien dengan Kasus Chronic Restrictive Pulmonary Disease (CRPD) Sasaran 1. Umum : Klien dan keluarga 2. Khusus : Klien Hari/Tanggal : Rabu, 3 Juni 2015 Alokasi Waktu : 30 Menit Tempat : Klinik Luar Biasa A.Tujuan 1.Tujuan Instruksional Umum (TIU) Setelah dilakukan penyuluhan berupa pendidikan kesehatan dengan pengkajian dan tanggung jawab dari perawat komunitas, pasien dapat memahami apa yang dialami pada dirinya berupa penyakit “Chronic Restrictive Pulmonary Disease” dapat menerima dan terus berpikir optimis menghadapi kehidupannya, sedangkan keluarga dapat terus mendukung pasien dengan segala upaya maksimal dan didampingi oleh perawat komunitas. 2.Tujuan Instruksional Khusus (TIK) Setelah diberikan penyuluhan selama 1x30 menit, diharapkan: (1)Keluarga mampu memahami kondisi penyakit pasien; (2)Keluarga mampu bekerja sama dengan perawat keluarga untuk memberikan perhatian yang maksimal untuk pasien; (3)Keluarga mampu memahami penanganan pada pasien setelah diajarkan oleh perawat keluarga; (4)Pasien merasakan perhatian yang maksimal dari keluarga dan tenaga kesehatan serta pasien dapat termotivasi untuk terus memperjuangkan keadaannya dengan terus berpikir optimis dan melakukan hal-hal yang berguna. B. Sub-Pokok Bahasan Penyuluhan 1. Definisi Chronic Restrictive Pulmonary Disease; 2. Etiologi Chronic Restrictive Pulmonary Disease; 3. Tanda dan gejala Chronic Restrictive PulmonaryDisease; 4. Dampak penyakit terhadap fungsi keluarga; 5. Pengkajian yang perlu dilakukan oleh perawat keluarga. C. Media 1. Laptop dengan slide Power Point yang berisi materi tentang senam kaki diabetes mellitus termasuk video senam kaki diabetes mellitus. 2. Alat pendukung : kursi dan meja. D. Rancangan Tempat Keterangan : = Meja Pemateri = Poster = Kursi Peserta E. Kegiatan Penyuluhan No Tahapan Kegiatan Kegiatan Penyuluhan Respon Estimasi Waktu Metode 1 Pendahuluan 1. Penyuluh memberikan salam dan memperhatikan kesiapan sasaran yang ingin dicapai. 2. Menyampaikan materi pokok tentang pencegahan dan penatalaksanaan materi yang disampaikan. 3. Menyampaian tujuan pembelajaran yang akan dicapai baik tujuan umum maupun tujuan khusus. Menjawab salam dan mendengarkan pemateri 5 Menit Ceramah 2 Penyampaian Materi 1. Menyebutkan definisi Diabetes Mellitus; 2. Menjelaskan komplikasi Diabetes Mellitus pada kaki; 3. Menjelaskan definisi senam kaki Diabetes Mellitus; 4. Menjelaskan manfaat senam kaki Diabetes Mellitus; 5. Menjelaskan langkah-langkah senam kaki Diabetes Mellitus; 6. Memperagakan materi yang disampaikan 7. Tanya jawab 8. Memberikan pujian atas upaya positif yang dilakukan sasaran yang ingin dicapai selama pendidikan kesehatan berlangsung. Mendengarkan penjelasan pemateri dan mengikuti instruksi dari pemateri 10 Menit Ceramah, simulasi 3 Penutup 1. Memberikan evaluasi 2. Menyimpulkan materi yang disampaikan 3. Penutup 1. Menjawab pertanyaan 2. Memberikan kesimpulan 3. Menjawab salam 5 Menit Ceramah F. Evaluasi 1. Struktur: a. Rancangan Penyuluhan telah dikonsultasikan selama 3 hari sebelumnya. b. Peralatan dan media telah dipersiapkan selama 3 hari sebelumnya. c. Pembagian tugas telah dilaksanakan. d. Kontrak tempat dan waktu penyuluhan selama 7 hari sebelumnya. e. Leaflet sudah diberikan sebelum menyampaikan materi. 2. Proses a. Minimal 80% peserta penyuluhan hadir pada pertemuan pendidikan kesehatan. b. Minimal 70% peserta aktif pada penyuluhan dan tanya jawab kegiatan. c. Masing-masing anggota kelompok pelaksana penyuluhan menjalankan tugasnya dengan baik dan penuh tanggung jawab. 3. Hasil a. Kegiatan penyuluhan berlangsung dengan rencana yang telah dirancang. b. Minimal 50% peserta yang hadir pada penyuluhan dapat menjawab pertanyaan evaluasi tentang penyuluhan yang disampaikan. Daftar pertanyaan: 1) Komplikasi apa yang dapat terjadi pada kaki penderita diabetes mellitus? 2) Apa saja manfaat dari dilakukannya senam kaki pada penderita diabetes mellitus? 3) Bagaimana langkah-langkah melakukan senam kaki pada penderita diabetes mellitus? c. Memberikan bingkisan kepada peserta yang bertanya dan bisa menjawab pertanyaan. d. Peserta penyuluhan mampu menerapkan senam kaki yang memberikan manfaat untuk pencegahan komplikasi terjadinya ulkus diabetikum pada penderita diabetes mellitus. G. Sumber 1. National Institutes of Health. (2001) Global initiative for chronic obstructive lung disease: Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. U.S. Department of Health and Human Services, NIH Publication Number 2701B. 2. 3. Andarwanti,L 2009, Pengaruh Senam Kaki Diabetes Terhadap Neuropati Sensorik pada Kaki Pasien Diabetes Melitus Di Wilayah Kerja Puskesmas Tegalrejo, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 4. Soebagio, Imam. (2011). Senam Kaki Sembuhkan Diabetes Mellitus. Diakses dari http://pakdebagio.blogspot.com/2011/04/senam-kaki-sembuhkan-diabetes-melitus.html. H. Materi (Lampiran) 1. Latar Belakang Sebagai seorang perawat keluarga, salah satu tugas adalah mendidik pasien dan keluarga untuk mencapai kebutuhan kesehatan dalam lingkup bio, psiko, sosio dan spiritual. Pada suatu kelurahan terdapat sebuah kasus yang memerlukan peranan dari perawat keluarga. Ada seorang pria berusia 59 tahun dengan masalah kesehatan yaitu Chronic Restrictive Pulmonary Disease (CRPD). Ia tinggal sendiri, tetapi memiliki dua orang anak yang telah dewasa dan tinggal tidak jauh dari rumahnya yang saling bergiliran untuk mengantarkan ia jika ada janji atau jadwal untuk check up ke klinik. Dalam kunjungannnya baru-baru ini, pasien terlihat tampak sangat lemah dan fatigue, membutuhkan upaya ekstra untuk bernafas dan kehilanggan berat badan hampir 4,5 kg dalam satu bulan terakhir. Akhir-akhir ini, ia tampak perlu dirawat di rumah sakit. Anak perempuannya mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi pernafasan ayahnya dan kebutuhan ayahnya untuk mendapatkan perawatan yang lebih dari biasanya. Disisi lain, anda mengetahui bahwa pasien dengan kondisi seperti ini dapat memburuk seiring berjalannya waktu dan biasanya akan membutuhkan bantuan ventilator ketika mereka tidak dapat lagi bernafas dengan adekuat secara mandiri. Strategi yang ditekankan pada kasus ini adalah bagaimana peran perawat keluarga dapat memberikan pengkajian dalam konteks sistem nilai bagi pasien dan keluarganya serta menunjukkan tanggung jawab legal sebagai seorang perawat keluarga. 2. Definisi Chronic Restrictive Pulmonary Disease atau disebut Chronic Obstructive Pulmonary Disease adalah sebuah penyakit yang dikarakteristikan dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Pengertian terbaru dari COPD berasal dari the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (National Institutes of Health (NIH), 2001). Menurut Tabrani Rab (2010) COPD merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan batuk produktif dan dispnea karna terjadinya terjadinya obstruksi saluran nafas, sekalipun penyakit ini bersifat kronis dan merupakan gabungan dari emfisema, bronkiolitis kronik, maupun asma, tetapi dalam keadaan tertentu terjadi perburukan dari fungsi pernapasan. Dalam beberapa keadaan perubahan dari COPD ini dapat menyebabkan terjadinya kegagalan pernapasan. 3. Etiologi Penyebab dari penyakit ini belum pasti diketahui. Tapi faktor resiko timbulnya penyakit ini adalah: a. Merokok b. Polusi udara c. Infeksi paru berulang d. Defisiensi anti oksidan e. Umur 4. Tanda dan Gejala a. Kelemahan badan b. Batuk c. Sesak napas d. Sesak napas saat beraktivitas dan napas berbunyi (mengi atau wheezing) e. Ekspirasi yang memanjang f. Barrel chest pada penyakit lanjut g. Penggunaan otot bantu pernapasan h. Suara napas melemah i. Edema kaki 5. Dampak Penyakit Terhadap Fungsi Keluarga a. Fungsi biologis Dalam memenuhi kebutuhan biologis, keluarga tidak berfungsi secara maksimal karena anggota keluarganya yang menderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang membutuhkan perhatian untuk memenuhi kebutuhanya. b. Fungsi psikologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik ini sangat mempengaruhi terhadap psikologis penderita atau keluarga karena akan menimbulkan kecemasan. Apalagi setelah tahu bahwa penyakit tersebut akan menimbulkan komplikasi yang lebih parah.. c. Fungsi sosial Keadaan sakit mengakibatkan aktivitas seseorang menjadi terbatas salah satunya dalam bersosialisai dan berinteraksi baik di dalam maupun dengan masyarakat luar sekitarnya. Kunjngan pada acara-acara tertentu seperti pengajian pun jadi terganggu. d. Fungsi pendidikan Fungsi pendidikan seperti penanaman akhlak yang baik, pengetahuan dan keterampilan sehubungan dengan fungsi lainnya akan terganggu. e. Fungsi ekonomi Salah satu unsur untuk meningkatkan kesehatan yaitu dengan cara melakukan pengobatan, untuk itu biaya yang diperlukan keluarga menjadi lebih besar sehubungan dengan adanya anggota keluarga yang sakit. 6. Pengkajian a. Identifikasi masalah emosional 1) Pertanyaan tahap I a) Apakah klien mengalami sukar tidur? b) Apakah klien sering merasa gelisah? c) Apakah klien sering murung atau menangis sendiri? d) Apakah sering was-was atau kuatir? 2) Lanjutkan tahap 2, jika lebih atau sama dengan satu jawab “ya”. Pertanyaan tahap 2 a) Keluhan lebih dari 3 bulan atau lebih dari satu kali dalamsatu bulan? b) Ada masalah atau banyak pikiran? c) Ada gangguan/masalah dengan keluarga lain? d) Menggunakan obat tidur/penenang atas anjuran dokter ? e) Cenderung mengurung diri ? Bila lebih atau sama dengan 1 jawaban “ya”, Masalah emosional klien positif (+). b. Pengkajian fungsional klien 1) Katz Indeks a) Mandiri dalam makan, kontinensia (BAB, BAK), menggunakan pakaian, pergi toilet, berpindah dan mandi. b) Mandiri semuanya kecuali salah satu saja dari fungsi di atas. c) Mandiri, kecuali mandi dan satu lagi fungsi yang lain. d) Mandiri kecuali mandi, berpakaian dan satu fungsi yang lain. e) Mandiri kecuali mandi, berpakaian, ke toilet dan satu fungsi yang lain. f) Mandiri kecuali mandi, berpakaian, ke toilet, berpindah dan satu fungsi yang lain. g) Ketergantungan untuk semua fungsi diatas. h) Lain-lain. Keterangan : Mandiri berarti tanpa pengawasan, pengarahan atau bantuan aktif dari orang lain. Seseorang yang menolak untuk melakukan suatu fungsi dianggap tidak melakukan fungsi, meskpun ia dianggap mampu. 2) Barthel Indeks Tabel 1.1. Barthel Indeks No Kriteria Dengan Bantuan Mandiri Keterangan 1 2 3 4 5 1 Makan 5 Frekuensi: Jumlah: Jenis: 2 Minum 5 Frekuensi: Jumlah: Jenis: 3 Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur, sebaliknya 5-10 4 Personal toilet (cuci muka, menyisir rambut, gosok gigi) 0 Frekuensi 5 Keluar masuk toilet (mencuci pakaian, menyeka tubuh, menyiram) 5 6 Mandi 5 Frekuensi 7 Jalan kepermukaan datar 0 8 Naik turun tangga 5 9 Mengenakan pakaian 5 10 Kontrol bowel (BAB) 5 Frekuensi: Konsistensi: 11 Kontrol bladder (BAK) 5 Frekuensi: Warna: 12 Olahraga/latihan 5 Jenis: Rekreasi/pemanfaatan waktu luang 5 Jenis: Frekuensi: Jumlah Keterangan : • 130 : mandiri • 65-125 : ketergantungan sebagian • 60 : ketergantungan total 3) Aspek kognitif dari fungsi mental dengan menggunakan mini mental status exam (MMSE) Tabel 1.2. MMSE No Aspek kognitif Nilai maksimal Nilai klien Kriteria 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 6 Orientasi Orientasi Registrasi Perhatian dan kalkulasi Mengingat Bahasa 5 3 3 5 3 9 Menyebutkan dngan benar ? o Tahun o Musim o Tangal o Hari o Bulan Dimana kita sekarang berada ? o Negara o Propinsi o Kota o RT o RW Sebutkan nama tiga objek (pemeriksa) satu detik untuk mengatakan masing-masing objek. Kemudian tanyakan kepada klien ketiga objek tadi (sebutkan) o Kursi o Meja o Pintu Minta klien untuk memulai dari angka 100 kemudian dikurangi 7 sampai 5 tingkat o 93 o 86 o 79 o 72 o 65 Minta klien untuk mengulangi ketiga objek pada no 2 tadi. Tunjukan pada klien suatu benda dan tanyakan namanya pada klien o Buku o Jam tangan Minta klien untuk mengulang kata berikut : “tak ada jika, dan atau tetapi” o Pertanyaan benar dua buah: tak ada tetapi Minta klien untuk mengikuti perintah berikut yang terdiri atas tiga langkah “ambil kertas ditangan anda, lipat dua dan taruh dilantai”. o Ambil kertas ditangan anda o Lipat dua o Taruh dilantai Perintahkan klien untuk hal berikut o “tutup mata anda” Perintahkan pada klien untuk menulis satu kalimat dan menyalin gambar o Tulis satu kalimat o Menyalin gambar Jumlah Keterangan : • >23 : aspek kognitif dari fungsi mental baik • 18-22 : kerusaka • n aspek mental ringan • ≤ : terdapat kerusakan aspek fungsi mental berat 4) Pengkajian status mental a) Identifikasi tingkat kerusakan intelektual dengan menggunakan short portable mental status questioner (SPSMQ) Tabel 1.3. SPSMQ Benar Salah No Pertanyaan 1 2 3 4 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 Tanggal berapa hari ini ? Hari apa sekarang ? Apa nama tempat ini ? Dimana alamat anda ? Berapa umur anda ? Kapan anda lahir ? (minimal tahun) Siapa presiden Indonesia sekarang ? Siapa presiden sebelumnya ? Siapa nama ibu anda ? Kurangi 3 dari 20 ? Keterangan : • Salah 0-3 : fungsi intelektual utuh • Salah 4-5 : kerusakan intelektual ringan • Salah 6-8 : kerusakan intelektual sedang • Salah 9-10 : kerusakan intelektual berat b) Pengkajian keseimbangan untuk klien lansia (adaptasi dan dimodifikasi dari Tinneti, ME, Ginter, dan SF, 1998). Pengkajian keseimbangan dinilai dari dua komponen utama dalam bergerak, dari dua komponen tersebut dibagi lagi dalam beberapa gerakan yang perlu diobservasi oleh perawat. Kedua komponen tersebut adalah : • Perubahan posisi atau gerakan keseimbangan dari kondisi dibawah ini : Beri nilai nol jika klien tidak menunjukan kondisi dibawah ini atau beri nilai satu jika klien menunjukan salah satu.  Bangun dari kursi (dimasukan dalam analisa)*  Tidak bangun dari duduk dengan satu kali gerakan, tetapi mendorong tubuhnya keatas dengan tangan atau bergerak kebagian depan kursi terlebih dahulu, tidak stabil pada saat berdiri pertama kali.  Duduk ke kursi (dimasukan dalam analisa)*  Menjatuhkan diri ke kursi, tidak duduk di tengah kursi. Keterangan : (*) kursi yang keras dan tanpa lengan.  Menahan dorongan pada sternum (pemeriksa mendorong sternum dengan perlahan-lahan sebanyak tiga kali)  Klien menggerakan kaki, memegang objek untuk dukungan, kaki tidak menyentuh sisinya. Beri nilai satu jika klien menunjukan kondisi diatas dan beri nilali nol jika klien tidak menunjukan kondisi tersebut. Mata tertutup : Sama seperti diatas (periksa kepercayaan pasien tentang input penglihatan untuk keseimbangan). Beri nilai satu jika klien menunjukan kondisi diatas dan beri nilai nol jika klien tidak menunjukan kondisi tersebut.  Pemutaran leher  Menggerakan kaki, memegang objek untuk dukungan ; kaki tidak menyentuh sisinya, keluhan pertigo, pusing atau keadan tidak stabil. Beri nilai satu jika klien tidak menunjukan kondisi diatas dan beri nilai nol jika klien tidak menunjukan kondisi tersebut.  Gerakan menggapai sesuatu  Tidak mampu untuk menggapai sesuatu dengan bahu fleksi seoenuhnya sementara berdiri pada ujung-ujung jari kaki, tidak stabil, memegang sesuatu untuk dukungan. Beri nilai satu jika klien menunjukan kondisi diatas dan beri nilai nol jika klien tidak menunjukan kondisi tersebut.  Membungkuk  Tidak mampu membungkuk untuk mengambil objek-objek kecil (misal, pulpen dari lantai, memegang objek untuk bisa berdiri lagi, memerlukan usaha-usaha untuk bangun). Beri nilai satu jika klien menunjukan kondisi diatas dan beri nilai nol jika klien tidak menunjukan kondisi tersebut. • Komponen gaya berjalan atau gerakan Beri nilai nol jika klien tidak menunjukan kondisi di bawah ini atau beri nilai satu jika klien menunjukan salah satu dari kondisi di bawah ini :  Minta klien untuk berjalan ke tempat yang ditentukan, ragu-ragu, tersandung, memegang objek untuk dukungan.  Ketinggian langkah kaki (mengangkat kaki saat melangkah).  Kaki tidak naikm dari lantai secara konsisten (menggeser atau menyeret kaki), mengangkat kaki terlalu tinggi (lebih dari 5cm).  Kontinuitas langkah kaki (lebih baik diobsrvasi dari samping klien)  Setelah langkah-langkah awal, langkah menjadi tidak konsisten, memulai mengangkat kaki sementara kaki yang lain menyentuh lantai.  Kesimetrisan langkah (lenih baik diobservasi dari samping klien)  Tidak berjalan dalam garis lurus, bergelombang dari sisi ke sisi lain.  Penyimpangan jalur pada saat berjalan (lebih baik diobservasi dari belakang klien)  Tidak berjalan dalam garis lurus, bergelombang dari sisi ke sisi lain.  Berbalik  Berhenti sebelu mulai berbalik, jalan sempoyongan, bergoyang, memegang objek untuk dukungan. Interpretasi hasil : Jumlahkan semua nilai yang diperoleh klien, yang dapat diinterpretasikan sebagai berikut : 0-5 : resiko jatuh rendah 6-10 : resiko jatuh sedang 11-15 : resiko jatuh tinggi

kelainan Pada mata

1. Proses Terjadinya Kelainan Pada Mata a. Hipermetropi Hipermetropi adalah kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang berasal dari tak berhingga memasuki mata difokuskan dibelakang retina. Dikatakan juga mata kekurangan kekuatan 1+; plus . Hal ini dapat disebabkan oleh axial length mata lebih pendek dari normal, sehingga mata tidak cukup mempunyai kekuatan plus untuk memfokuskan bayangan di retina.(1) Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang makula retina. Pada hipermetropi sinar sejajar difokuskan dibelakang macula lutea. ( Ilyas, 2012) Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan difokuskan di belakang retina. Diameter anterior posterior bola mata yang lebih pendek, kurvatura kornea dan lensa yang lebih lemah, dan perubahan indeks refraktif menyebabkan sinar sejajar yang datang dari objek terletak jauh tak terhingga di biaskan di belakang retina. Hipermetropi dapat disebabkan: a. Hipermetropi sumbu atau hipermetropi aksial merupakan kelainan refraksi akibat bola mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek. b. Hipermetropi kurvatur dimana lengkungan kornea atau lensa kurang sehingga banyangan difokuskan dibelakang retina c. Hipermetropi rekaktif dimana terdapat indeks bias yang kurang pada system optic mata. Hipermetropi dikenal dalam bentuk : - Hipermetropi manifest yaitu hipermetropi yang dapat dikoreksidengan kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropi manifest didapatkan Tanpa skiloplegik dan hipermetropi yang dapat dilihat dengan kacamata maksimal. - Hipermetropi absolute kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. - Hipermetropi fakutatif , dimana kelainan hipermetropi dapatdiimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropi fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata posotif - Hipermetropi laten , kelainan tanpa sikplegia diimbangi seluruh dengan akomodasi . dapat diukur bila diberikan siklopegia. Makin muda makin besar komponen hipernetropi laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga akan menjadi hipermetropi absolute. - Hipermetropi total , hipermetropi yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia. Mata dengan hipermetropia sering akan memperlihatkan ambliopiis akibat mata tanpa akomodasi tidak [ernah meliht obyek dengan baik daan jelas. Bila terjadi ammbliopia pada salah satu mata. Mata ambliopia sering menggulir kea rah temporal. Pengobatan hipermetropi adalah diberikan koreksi hipermetropi manifest dimana tanpa sikloplegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang emberikan tajaman penglihatan normal. Secara klinis, hipermetropia terbagi dalam 3 kategori (AOA, 2008) a. Simple hyperopia, karena variasi normal biologis, bisa disebabkan oleh panjang sumbu aksial mata ataupun karena refraksi. b. Pathological hyperopia, disebabkan anatomi mata yang abnormal karena gagal kembang, penyakit mata, atau karena trauma. c. Functional hyperopia adalah akibat dari paralisis akomodasi. Pada mata dengan miopia tinggi akan terdapat kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi makula, degenerasi retina bagian perifer, dengan miopik kresen pada papil saraf optik (Ilyas,2012). Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal (Ilyas,2012). Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat lebih jelas bila dekat bahkan terlalu dekat, sedangkan melihat jauh kabur (rabun jauh). Seseorang dengan miopia mempunyai kebiasaan mengerinyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau mendapatkan efek pinhole (lubang kecil) (Ilyas, 2012). Pasien miopia jarang merasakan sakit kepala. Kadang-kadang terlihat bakat untuk menjadi juling (Ilyas, 2012). Hal ini dikarenakan pasien miopia mempunyi pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau keadaan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila Bila terdapat perbedaan kekuatan hipermetropia antara kedua mata, maka akan terjadi ambliopia pada salah satu mata. Mata ambliopia sering menggulir ke arah temporal (Ilyas, 2012). Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan jelas. Pada pasien yang banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama pada usia yang lanjut, akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca. Keluhan tersebut berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan (Ilyas, 2012). Keluhan mata yang harus berakomodasi terus untuk dapat melihat jelas adalah mata lelah, sakit kepala, dan penglihatan kabur bila melihat dekat kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropia (Ilyas, 2012). Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen, yaitu gambaran bulan sabit yang terlihat pada polus posterior fundus mata miopia, yang terdapat pada daerah papil saraf optik akibat tidak tertutupnya sklera oleh koroid Patofisiologi hipermetropi b. Miopi Pada myopia panjang bol mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat. Dikenal beberapa bentuk myopia seperti: - Myopia Retraktif , bertambah nya indeks bias media penglihatan seperti terjadi pada katarak intumesen diamna lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan myopia bias atau myopia indeks, myopia yang tterjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu kuat. - Myopia aksial , myopia akibat panjangnya sumbu bola mata dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal. Menurut perjalanan nya miopi dikenal dengan : - Miopi stasioner , miopi yang menetap setelah dewasa - Miopi progresif , miopi yang beertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah panjang bola mata (Ilyas, 2012) Miopia timbul akibat gangguan pada regulasi pertumbuhan mata. Gangguan regulasi dapat bersifat herediter, yang biasanya mengakibatkan miopia onset muda (usia kurang dari 20 tahun), atau merupakan pengaruh lingkungan, yang biasanya mengakibatkan miopia onset dewasa (usia 20 tahun ke atas). Lingkungan yang mempengaruhi regulasi pertumbuhan mata antara lain adalah nearwork kerja jarak dekat (Fredrick DR, 2002). Beberapa penelitian telah melaporkan prevalensi miopia yang tinggi di kalangan pekerja dengan jenis pekerjaan jarak dekat antara lain penelitian oleh (Simensen et al,1994) dan( McBrien et al.1997) Prevalensi miopia yang ditemukan pada penelitian ini (12,6%) berbeda dengan prevalensi miopia pada kerja jarak dekat yang lain. Pada kerja jarak dekat membaca di kalangan mahasiswa, prevalensi miopia ditemukan sebesar 66%, pada pekerja dengan mikroskop prevalensi miopia ditemukan sebesar 33% sedangkan pada operator komputer prevalensi miopia sebesar 79%. Menurut analisis bivariat, kerja jarak dekat (jarak merupakan faktor risiko miopia pada penjahit sepatu. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari US National Academy of Sciences yang menyatakan bahwa mengerjakan kerja jarak dekat menempatkan seseorang pada risiko myopia(Goss DA,.2000) Didapatkan prevalensi miopia 12,6%. Sebagian besar responden mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang mengenai higiene visual. Kerja jarak dekat berhubungan dengan miopia, sedangkan faktor-faktor lain (usia, lama pendidikan, masa kerja, aktivitas jarak dekat lain, dan iluminasi) tidak berhubungan bermakna dengan miopia.(NurKasih indah , et al. 2004) c. Astigmatis Astigmatisme adalah suatu keadaan dimana sinar yang sejajar tidak dibiaskan dengan kekuatan yang sama pada seluruh bidang pembiasan sehingga fokus pada retina tidak pada satu titik .Umumnya setiap orang memiliki astigmatisme ringan (Ilyas,2012) Astigmatisme merupakan akibat bentuk kornea yang oval seperti telur, makin lonjong bentuk kornea makin tinggi astigmatisme mata tersebut. Astigmatisme biasanya bersifat diturunkan atau terjadi sejak lahir. Astigmatisme biasanya berjalan bersama dengan miopia dan hipermetropia dan tidak banyak terjadi perubahan selama hidup (Ilyas, 2012). Pada usia pertengahan, kornea menjadi lebih sferis kembali sehingga astigmatisme menjadi astigmatism against the rule (astigmatisme tidak lazim) Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar korneatidak teratur. Media refrakta yang memiliki kesalahan pembiasan yang paling besar adalah kornea, yaitu mencapai 80% sd 90% dari astigmatismus, sedangkan media lainya adalah lensa kristalin. Kesalahan pemiasan pada kornea ini terjadi karena perubahan lengkung kornea dengan tanpa pemendekan atau peanjangan diameter anterior posterior bola mata. Astigmatisme juga dapat terjadi akibat jaringan parut pada kornea atau setelah pembedahan mata. Jahitan yang terlalu kuat pada bedah mata dapat mengakibatkan perubahan pada permukaan kornea. Bila dilakukan pengencangan dan pengenduran jahitan pada kornea maka dapat terjadi astigmatisme akibat terjadi perubahan kelengkungan kornea. Ada beberapa bentuk Astigmatisme : - Astigmatisme regular adalah suatu keadaan refraksi dimana terdapat dua kekuatan pembiasan yang saling tegak lurus pada sistem pembiasan mata. Hal ini diakibatkan kornea yang mempunyai daya bias berbeda-beda pada berbagai meridian permukannya. Astigmatisme ini memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmatisme regular dengan bentuk teratur dapat berbentuk garis, lonjong, atau lingkaran. - Astigmatisme iregular yaitu astigmatisme yang terjadi tidak mempunyai 2 meridian saling tegak lurus. Astigmatisme ireguler dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan menjadi iregular. Astigmatisme iregular terjadi akibat infeksi kornea, trauma dan distrofi, atau akibat kelainan pembiasan pada meridian lensa yang berbeda. - Astigmatisme lazim (astigmat with the rule) adalah suatu keadaan kelainan refraksi astigmatisme regular dimana koreksi dengan silinder negatif dengan sumbu horizontal (45-90 derajat). Keadaan ini lazim didapatkan pada anak atau orang muda akibat perkembangan normal dari serabut-serabut kornea. d. Presbiopi Presbiopi merupakan kondisi mata dimana lensa kristalin kehilangan fleksibilitasnya sehingga membuatnya tidak dapat fokus pada benda yang dekat. Presbiopi adalah suatu bentuk gangguan refraksi, dimana makin berkurangnya kemampuan akomodasi mata sesuai dengan makin meningkatnya umur. Presbiopi merupakan bagian alami dari penuaan mata. Presbiopi ini bukan merupakan penyakit dan tidak dapat dicegah. Presbiopi atau mata tua yang disebabkan karena daya akomodasi lensa mata tidak bekerja dengan baik akibatnya lensa mata tidak dapat memfokuskan cahaya ke titik kuning dengan tepat sehingga mata tidak bisa melihat yang dekat. Presbiopi adalah suatu bentuk gangguan refraksi, dimana makin berkurangnya kemampuan akomodasi mata sesuai dengan makin meningkatnya umur.(4) Presbiopia yaitu hilangnya daya akomodasi yang terjadi bersamaan dengan proses penuaan pada semua orang. Seseorang dengan mata emetropik (tanpa kesalahan refraksi) akan mulai merasakan ketidakmampuan membaca huruf kecil atau membedakan benda-benda kecil yang terletak berdekatan pada usia sekitar 44-46 tahun. Hal ini semakin buruk pada cahaya yang temaram dan biasanya lebih nyata pada pagi hari atau apabila subyek lelah. Banyak orang mengeluh mengantuk apabila membaca. Gejala-gejala ini meningkat sampai usia 55 tahun, kemudian stabil tetapi menetap (Ilyas, 2012). Presbiopia terjadi akibat lensa makin keras sehingga elastisitasnya berkurang. Demikian pula dengan otot akomodasinya, daya kontraksinya berkurang sehingga tidak terdapat pengenduran zonula Zinn yang sempurna. Pada keadaan ini maka diperlukan kacamata bifokus, yaitu kacamata untuk melihat jauh dan dekat Pada mata normal, maka pada saat melihat jauh mata tidak melakukan akomodasi. Pada waktu melihat dekat maka mata akan mengumpulkan sinar ke daerah retina dengan melakukan akomodasi. (Ilyas, 2012). 2. Sebutkan dan jelaskan proses terjadinya kelainan pada Mata a. Tuli Konduktif Tuli konduktif adalah kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan masuk ke dalam telinga. Kelainan telinga luar yang menyebabkan tuli kondusif adalah otalgia, atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta, otitis eksterna maligna, dan osteoma liang teliga. Kelainan telinga tengah yang menyebabkan tuli kondusif ialah sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanisklerosia, hemotimpanum, dan dislokasi tulang pendengaran. (Indro Soetirto: 2003) Saat terjadi trauma akan menimbulkan suatu peradangan bias saja menimbulkan luka, nyeri kemudian terjadi penumpukan serumen atau otorrhea. Penumpukan serumen yang terjadi dapat mengakibatkan transmisi bunyi atau suara yang terganggu sehingga penderita tidak dapat mempersepsikan bunyi atau suara yang di dengarnya. Disebabkan oleh kondisi patologis pada kanal telinga ekstrna, membrane timpani atau telinga tengah. Gangguan pendengaran konduktif tidak melebihi 60dB karena hantaran menuju ke koklea melalui tulang hantaran bila intensitasnya tinggi. Penybab tersering gangguan pendengaran jenis ini pada anak yg otitis media dn disffungi tub eustachius yang disebabkan leh otitis edia sekretori. Kedua kelainan tersebut jarang menyebabkan kelainan gangguan pendengaran melebihi 40 dB. Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang suara tidak dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena beberapa gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda, dan tuba auditiva. Pada bentuk yang murni (tanpa komplikasi) biasanya tidak ada kerusakan pada telinga dalam, maupun jalur persyarafan pendengaran nervus vestibulokoklearis (N.VIII). Gejala yang ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut: 1. Ada riwayat keluarnya carian dari telinga atau riwayat infeksi telinga sebelumnya. 2. Perasaan seperti ada cairan dalam telinga dan seolah-olah bergerak dengan perubahan posisi kepala. 3. Dapat disertai tinitus (biasanya suara nada rendah atau mendengung). 4. Bila kedua telinga terkena, biasanya penderita berbicara dengan suara lembut (soft voice) khususnya pada penderita otosklerosis. 5. Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai. Menurut Lalwani, pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam kanal telinga luar, perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Kanal telinga luar atau selaput gendang telinga tampak normal pada otosklerosis. Pada otosklerosis terdapat gangguan pada rantai tulang pendengaran. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang mengandung nada rendah. Melalui tes garputala dijumpai Rinne negatif. Dengan menggunakan garputala 250 Hz dijumpai hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara dan tes Weber didapati lateralisasi ke arah yang sakit. Dengan menggunakan garputala 512 Hz, tes Scwabach didapati Schwabach memanjang.(11) b. Tuli Sensorineural Disebabkan oleh kerusakan atau malfungsi koklea, saraf pendengaran dan batang otak sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Bila kerusakan terbatas pada sel rambut di koklea maka sel ganglion dapat bertahan atau mengalami degenerasi transneural. Bila sel ganglion rusak, maka nervur VIII akan mengalami degenerasi Wallrerian. Penyebabnya anatara lain adalah: kelainan bawaan, genetic, penyakit/kelainan pada saat anak dalam kandungan, proses kelahiran, inveksi virus, pemakaian obat yang merusak koklea(kina, antibiotika seperti golongan makrolid), radanng selaput otak, kadar bilirubin yang tinggi. Penyebab utama ganguan pendengaran ini disebabkan genetic atau infeksi, sedangkan penyebab yang lain lebih jarang (Susanto. 2010) (10) Gangguan pendengaran jenis ini umumnya irreversibel. Gejala yang ditemui pada gangguan pendengaran jenis ini adalah seperti berikut: 1. Bila gangguan pendengaran bilateral dan sudah diderita lama, suara percakapan penderita biasanya lebih keras dan memberi kesan seperti suasana yang tegang dibanding orang normal. Perbedaan ini lebih jelas bila dibandingkan dengan suara yang lembut dari penderita gangguan pendengaran jenis hantaran, khususnya otosklerosis. 2. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan dalam suasana gaduh dibanding suasana sunyi. 3. Terdapat riwayat trauma kepala, trauma akustik, riwayat pemakaian obatobat ototoksik, ataupun penyakit sistemik sebelumnya. Menurut Soetirto, Hendarmin dan Bashiruddin, pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, kanal telinga luar maupun selaput gendang telinga tampak normal. Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat mendengar percakapan bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar katakata yang mengundang nada tinggi (huruf konsonan). Pada tes garputala Rinne positif, hantaran udara lebih baik dari pada hantaran tulang. Tes Weber ada lateralisasi ke arah telinga sehat. Tes Schwabach ada pemendekan hantaran tulang(11) c. Tuli campuran Bila ganguan pendengaran atau tuli konduktif dan sensorineural terjadi bersamaan.(Susanto.2010) (10) Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya otosklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media. Kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam. Gejala yang timbul juga merupakan kombinasi dari kedua komponen gejala gangguan pendengaran jenis hantaran dan sensorineural. Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi tanda-tanda yang dijumpai sama seperti pada gangguan pendengaran jenis sensorineural. Pada tes bisik dijumpai penderita tidak dapat mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata baik yang mengandung nada rendah maupun nada tinggi. Tes garputala Rinne negatif. Weber lateralisasi ke arah yang sehat. Schwabach memendek(11) - Faktor Penyebab Secara garis besar factor penyebab terjadinya ganguan pendengaran dapat berasal dari genetik maupun didapat 1. Factor Genetik Ganguan pendengaran karena factor genetic pada umumnya berupa gangguan pendengaran bilateral tetapi dapat pula asimetrik dan mungkin bersifat statis maupun progresif. Kelainan dapat bersifat dominan, resesif, berhubungan dengan kromosom X (contoh: Hunter’s syndrome, Alport syndrome, norrie’s disease) kelainan mitokondria (contoh: Kearns-Sayre syndrome), atau merupakan suatu malformasi pada satu atau beberapa organ telinga (contoh: stenosis atau atresia kanal telinga eksternal seing dihubungkan dengan malformasi pinna dan rantai osikuler yang menimbulkan tuli konduktif). - Factor yang didapat 1. Infeksi 2. Neonatal hiperbilirubinemia 3. Masalah perinatal 4. Obat ototoksik 5. Trauma 6. Neoplasma (Susanto.2010) DAFTAR PUSTAKA 1. http://repository.unand.ac.id /1267/1/Penatalaksanaan_Hipermetrop.pdf diakses 11september 2015 pukul 14.15 2. Ilyas S, Sri rahayu. 2012. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke empat. FKUI. JAKARTA 3. https://www.scribd.com/doc/156901411/PRESBIOPI diakses 11 sep 2015 pukul 22.00 4. Fredrick DR. Myopia clinical review. Br Med J. 2002;324:1195- 9 Diakses 12 September 2015 pukul 10.57 5. McBrien NA, Adams DW. A longitudinal investigation of adult- 112 onset and adult-progression of myopia in an occupational group: refractive and biometric findings. Invest Ophthalmol Vis Sci. 1997;38:321-33. 3. Diakses 12 September 2015 pukul 10.57 6. Simensen B, Thorud L. Adult-onset myopia and occupation. Acta Ophtalmologica. 1994;72:469-71 Diakses 12 September 2015 pukul 10.57 7. Nurkasih Indah, B sulitomo Astrid and Tri rahayu , 2004. Volum: 60, Nomor: 3, Maret 2010 The Association between Nearwork and Myopia Among Female Shoe Stitchers at “X” Shoe Factory. Occupational Medicine Master Program, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta Opthalmology Department, Faculty of Medicine, University of Indonesia/ Cipto Mangunkusumo National Hospital, Jakarta 8. Goss DA. Nearwork and myopia (commentary). The Lancet. 2000;356:1456-7 9. American Optometric Association,2008 10. Susanto,S . 2010 http://eprints.undip.ac.id/29093/3/Bab_2.pdng diakses tanggal 12 September 2015 pukul 23.00 11. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21550/4/Chapter%20II.pdf dikses tanggal 12 September 2015 pukul 22.00