Selasa, 01 Desember 2015

Kadiovaskuler ( PBL kelompok) angina, hipertensi, kateterisasi jantung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang  Angina pectoris Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan kelompok penyakit jantung yang terutama disebabkan penyempitan arteri koronaria akibat proses aterosklerosis atau spasme koroner, atau kombinasi dari keduanya. Secara statistik, angka kejadian penyakit jantung koroner di dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, baik di negara berkembang maupun negara maju. Di Amerika misalnya, sekitar 500.000 orang meninggal akibat penyakit ini tiap tahunnya. Di Eropa, 40.000 dari 1 juta orang juga menderita penyakit jantung koroner.(http//google.co.id) Di Indonesia, penyebab kematian mulai bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit kardiovaskular. Secara keseluruhan, jumlah kematian akibat PJK di seluruh dunia adalah sekitar 15 juta per tahun atau 30% dari seluruh kematian dengan berbagai sebab.Manifestasi klinik PJK yang klasik adalah angina pektoris. Angina pektoris ialah suatu sindroma klinis di mana didapatkan sakit dada yang timbul pada waktu melakukan aktivitas karena adanya iskemik miokard. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi > 70% penyempitan arteri koronaria. Angina pektoris dapat muncul sebagai angina pektoris stabil (APS, stable angina), dan keadaan ini bisa berkembang menjadi lebih berat dan menimbulkan sindroma koroner akut (SKA) atau yang dikenal sebagai serangan jantung mendadak (heart attack) dan bisa menyebabkan kematian. (American Heart Association (AHA)) Mengingat tingginya angka kematian akibat PJK, maka kami sebagai mahasiswa/i pembuat makalah ini akan menjelaskan lebih banyak lagi mengenai Angina Pektoris ini.  Hipertensi Hipertensi atau yang lebih dikenal dengan nama penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan di mana terjadi peningkatan tekanan darah di atas ambang batas normal yaitu 120/80mmHg. Batas tekanan darah yang masih dianggap normal adalah kurang dari 130/85 mmHg. Bila tekanan darah sudah lebih dari 140/90 mmHg dinyatakan hipertensi (batasan tersebut untuk orang dewasa di atas 18 tahun). Penyakit ini disebut sebagai the silent killer karena penyakit mematikan ini sering sekali tidak menunjukkan gejala atau tersembunyi. Hipertensi tidak secara langsung membunuh penderita, tetapi melalui timbulnya berbagai penyakit serius. Dengan kata lain, komplikasi dari hipertensi itulah yang sebenarnya banyak mengakibatkan kematian pada penderitanya. Hipertensi baru di sadari ketika telah menyebabkan gangguan organ, seperti gangguan fungsi jantung, koroner, ginjal, gangguan fungsi kognitif ataupun stroke. Hipertensi pada dasarnya akan mengurangi harapan hidup pada para penderitanya. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dibagi menjadi 2 jenis, sebagai berikut : • Hipertensi Primer Hipertensi primer tidak diketahui penyebabnya sehingga karenanya disebut juga dengan hipertensi esensial. Terjadi peningkatan kerja jantung akibat penyempitan pembuluh darah tepi. Sebagian besar (90-95 %) penderita termasuk pengidap hipertensi primer. • Hipertensi Sekunder Hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit sistematik lain, misalnya gangguan hormon (gushing), penyempitan pembuluh darah utama ginjal (stenosis arteri renalis), akibat penyakit ginjal (glumerulonefritis), dan penyakit sistematik lainnya seperti lupus nefritis. B. Rumusan masalah Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :  Apakah pengertian dari Angina Pektoris dan Hipertensi ?  Apa etiologi dari Angina Pektoris dan Hipertensi ?  Bagaimanakah patofisiologi Angina Pectoris dan Hipertensi ?  Bagaimanakah manifestasi klinis dari Angina Pektoris dan Hipertensi ?  Apa saja faktor resiko dari Angina Pectoris dan Hipertensi ?  Apa saja pemeriksaan diagnostik dari Angina Pektoris dan Hipertensi ?  Bagaimanakah penatalaksanaa dari Angina Pektoris dan Hipertensi ?  Apa saja komplikasi dari Angina Pectoris dan Hipertensi ? C. Tujuan  Mengerti Pengertian dari Angina Pektoris dan Hipertensi  Menjelaskan Etiologi dari Angina Pektoris dan Hipertensi  Menjelaskan Patofisiologi dari Angina Pektoris dan Hipertensi  Menjelaskan Manifestasi klinis dari Angina Pektoris dan Hipetensi  Menjelaskan Faktor resiko dari Angina Pektoris dan Hipertensi  Menjelaskan Pemeriksaan diagnostik dari Angina Pektoris dan Hipertensi  Menjelaskan Penatalaksanaa dari Angina Pectoris dan Hipertensi ?  Menjelaskan Komplikasi dari Angina Pectoris dan Hipertensi ? D. Manfaat  Memberikan gambaran dan penjelasan mengenai jantung dan msalah masalah yang terjadi di dalamnya BAB II PEMBAHASAN A. ANGINA PECTORIS a. Pengertian Angina Pectoris adalah sindrom klinis yang biasanya dikarakteristikan dengan episode nyeri paroksismal atau tekanan pada anterior dada. Penyebabnya biasanya karena insufisiensi aliran darah coroner. Insufisiensi aliran mengakibatkan penurunan suplai oksigen yang berhubungan dengan peningkatan kebutuhan miokardium akan oksigen sebagai respon dari stress emosional ataupun aktivitas fisik yang berlebihan. (Brunner and Suddarth, 2001). Angina pectoris ialah suatu sindrom klinis di mana pasien mendapat serangan dada yang khas, yaitu seperti ditekan atau terasa berat di dada yang seringkali menjalar ke lengan kiri. Sakit dada tersebut biasanya timbul pada waktu pasien melakukan suatu aktivitas dan segera hilang bila pasien menghentikan aktivitasnya. (Mansjoer dkk, 2007) Angina pectoris adalah nyeri hebat yang berasal dari jantung dan terjadi sebagai respon terhadap supalai oksigen yang tidak adekuate ke sel-sel miokardium. Nyeri angina dapat menyebar ke lengan kiri, ke punggung, ke rahang, atau ke daerah abdomen (Corwin, 2009) Angina atau angina pectoris sering merupakan gejala pertama dari penyakit arteri coroner (CAD) dan, dalam beberapa kasus, serangan jantung. Seringkali angina mungkin mendahului serangan jantung selama beberap pekan atau bahkan beberapa bulan sebelum serangan. (Edwar ,2010) Angina perktoris adalah nyeri yang timbul akibat iskemia miokardium. Biasanya mempunyai karakteristik tertentu : • Lokasi biasanya di dada, substernal atau sedikit dikirinya, dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu, kiri sampai dengan lengan dan jari jari bagian ulnar, punggung atau pundak kiri. • Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri yang tumpul seperti tertindih atau berat d dada. Rasa kuat dari dalam atau bawah diafragma seperti diremas-remas atau serasa mau pecah biasanya disertai keringat dingin dan sedak napas. • Nyeri berhubungan dengan aktivitas, hilang dengan istirahat. Tapi tidak berhubungan dengan gerakan pernapasan atau gerakan dada ke kiri dan ke kanan. Nyeri juga dapat di prespitasi oleh stress fisik atau emosional. • Kuantitas nyeri pertama kali sering timbul biasanya agak nyata. Bila lebih dari 20 menit atau lebih maka harus dipertimbangkan sebagai angina tak stabil. (sudoyo,2010) b. Etiologi Angina menyebabkan rasa sakit seperti tertekan atau sensasi berat, biasanya di daerah dada atau di bawah tulang dada (sternum). Hal ini terkadang menjalar ke lengan, bahu, leher, atau daerah rahang. Karena episode angina terjadi bila jantung membutuhkan lebih banyak oksigen darah di banding yang tersedia dalam pembuluh darah, kondisi ini sering dipicu oleh aktivitas fisik. Dalam kebanyakan kasus, gejala dapat mereda dalam beberapa menit dengan beristirahat atau dengan minum obat angina. Stres emosional, suhu ekstrim, makanan berat, merokok, dan alkohol juga dapat menyebabkan atau memberikan kontribusi terjadinya episode angina. Faktor penyebab Angina Pektoris antara lain: • Suplai oksigen yang tidak mencukupi ke sel-sel otot-otot jantung dibandingkan kebutuhan. • Ketika beraktivitas, terutama aktivitas yang berat, beban kerja jantung meningkat. Otot jantung memompa lebih kuat. • Riwayat merokok (Baik perokok aktif maupun perokok pasif) • Angina disebabkan oleh penurunan aliran darah yang menuju area jantung.Kadang-kadang , jenis penyakit jantung yang lain atau hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan angina. • Ateriosklerosis merupakan istilah umum untuk beberapa penyakit, dimanadinding arteri menjadi lebih tebal dan kurang lentur dimana bahan lemak terkumpul dibawah lapisan sebelah dalam dari dinding arteri. • Spasme arteri koroner • Anemia berat • Artritis  Faktor lain yang dapat menimbulkan nyeri angina meliputi: - Latihan fisik dapat memicu serangan dengan cara meningkatkan kebutuhan oksigen jantung. - Pajanan terhadap dingin dapat mengakibatkan vasokontriksi dan peningkatan tekanan darah, disertai peningkatan kebutuhan oksigen. - Makan-makanan berat akan meningkatkan aliran darah ke daerah mesentrik untuk membantu pencernaan, sehingga menurunkan ketersediaan darah untuk suplai jantung (pada jantung yang sudah sangat parah, pintasan darah untuk pencernaan membuat nyeri angina semakin buruk). - Stres atau berbagai emosi akibat situasi yang menegangkan, menyebabkan frekuensi jantung meningkat, akibat pelepasan adrenalin dan meningkatnya tekanan darah, sehingga dengan demikian beban kerja jantung juga meningkat. (Gray dkk, 2003). c. Patofisiologi Angina biasanya disebabkan oleh penyakit atherosclerosis. Angina dihubungkan dengan obstruksi yang signifikan pada sebagian besar arteri coroner. Identifikasi angina berdasarkan atas apa yang dialami pada masalalu. Penanganan yang efektif dimulai dengan menurunkan beban kerja jantung dan mengajarkan pasien mengenai kondisinya. Berikut beberapa faktor yang dapat dihubungkan dengan tipikal nyeri angina (Brunner and Suddarth, 2001): a. Aktivitas yang berlebihan, dimana dapat mempercepat sebuah serangan dengan meningkatkan pemakaian oksigen pada miokardium. b. Terpajan di lingkungan yang dingin, dimana dapat menyebabkan vasokontriksi dan meningkatkan tekanan darah, dengan meningkatkan penggunaan oksigen. c. Makan makanan yang berat, dimana dapat meningkatkan aliran darah menuju area mesentrik untuk pencernaan, dengan demikian dapat menurunkan suplai darah menuju otot jantung (Pada keadaan yang sudah parah dapat membahayakan jantung). Stress atau situasi yang dapat meningkatkan emosi, dapat menyebabkan rilisnya adrenaline dan meningkatkan tekanan darah, dimana dapat mempercepat denyut nadi dan meningkatkan beban kerja miokardium. Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada ketidak adekuatansuplay oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan karena kekakuan arteri dan penyempitan lumen arteri koroner (ateriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti apa penyebab ateriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang bertanggungjawab atas perkembangan ateriosklerosis.Ateriosklerosis merupakan penyakir arteri koroner yang paling seringditemukan. Sewaktu beban kerja suatu jaringan meningkat, maka kebutuhan oksigen juga meningkat. Apabila kebutuhan meningkat pada jantung yang sehat maka artei koroner berdilatasi dan megalirkan lebih banyak darah dan oksigen keotot jantung. Namun apabila arteri koroner mengalami kekauan atau menyempit akibatateriosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhanakan oksigen, maka terjadi iskemik (kekurangan suplai darah) miokardium.Angina Pectoris Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi No (nitrat Oksida yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini dapat menyababkan otot polos berkontraksi dan timbulspasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard berkurang.Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu nampak bila belum mencapai 75 %. Bila penyempitan lebih dari 75 % serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan berkurang. Sel-sel miokardium menggunakan glikogen anaerob untuk memenuhi kebutuhan energi mereka. Metabolisme ini menghasilkan asam laktat yang menurunkan pH miokardium dan menimbulkan nyeri. Apabila kenutuhan energi sel-sel jantung berkurang maka suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali fosforilasi oksidatif untukmembentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya asam laktatnyeri akan reda. Sejumlah faktor yang dapat menimbulkan nyeri angina: 1. Latihan fisik dapat memicu serangan dengan cara meningkatkan kebutuhan oksigen jantung. 2. Pajanan terhadap dingin dapat mengakibatkan vasokontriksi dan peningkatan tekanan darah,disertai peningkatan kebutuhan oksigen. 3. Makan makanan berat akan meningkatkan aliran darah ke daerah mesentrik untuk pencernaan, sehingga menurunkan ketersediaan darah unuk supai jantung. 4. Stress atau berbagai emosi akibat situasi yang menegangkan, menyebabkan frekuensi jantungmeningkat, akibat pelepasan adrenalin dan meningkatnya tekanan darah dengan demikian beban kerja jantung juga meningkat. d. Manifestasi klinis Iskemia otot jantung akan memberi nyeri dengan derajat yang bervariasi, mulai dari rasa tertekan pada dada sampai nyeri hebat yang disertai dengan rasa takut atau rasa akan menjelang ajal. Nyeri sangat terasa pada di daerah belakang sternum atas atau sternum ketiga tengah (retrosentral). Meskipun rasa nyeri biasanya terlokalisasi, namun nyeri tersebut dapat menyebar ke leher, dagu, bahu, dan aspek dalam ekstremitas atas. Pasien biasanya memperlihatkan rasa sesak, tercekik, dengan kualitas yang terus menerus. Rasa lemah di lengan atas, pergelangan tangan, dan tangan akan menyertai rasa nyeri. Selama terjadi nyeri fisik, pasien mungkin akan merasa akan meninggal. Karakteristik utama nyeri tersebut akan berkurang apabila faktor presipitasinya dihilangkan. Kualitas nyeri seperti tertekan benda berat, seperti diperas, terasa panas, kadang-kadang hanya perasaan tidak enak di dada (chest discomfort). • Nyeri bervariasi dari perasaan tertekan pada dada bagian atas sampai nyeri yang menjalar. • Disertai dengan ketakutan hebat dan perasaan terancam akan kematian. • Biasanya retrosternal, jauh didalam dada di belakang sternum atas atau sepertiga tengah. • Sering kali setempat, dapat menjalar ke leher, rahang, bahu, dan ekstremitas atas. • Sensasi tegang, dan rasa tertusuk. • Perasaan lemah atau kebas pada lengan, pergelangan tangan, dan tangan. • Karakteristik penting dari nyeri angina adalah nyeri yang akan menghilang ketika penyebab yang mencetuskannya dihilangkan. e. Faktor resiko  Faktor resiko antara lain adalah : Dapat di ubah (dimodifikasi) • Diet (hiperlipidemia) • Rokok • Hipertensi • Stres • Obesitas • Kurang aktifitas • Diabetes mellitus • Pemakaian kontrasepsi oral Tidak dapat di ubah • Usia • Jenis kelamin • Ras • Herediter  Faktor pencetus yang dapat menimbulkan seraanga antara lain : • Emosi • Stress • Kerja fisik terlalu berat • Hawa terlalu panas dan lembab • Terlalu kenyang • Banyak merokok f. Pemeriksaan diagnostik 1. Elektrokardiogram Gambaran elektrokardiogram (EKG) yang dibuat pada waktu istirahat dan bukan pada waktu serangan angina seringkali masih normal. Gambaran EKG kadang-kadang menunjukkan bahwa pasien pernah mendapat infark moikard pada masa lampau. Kadang-kadang EKG menunjukkan pembesaran ventrikel kiri pada pasien hipertensi dan angina. Kadang-kadang EKG menunjukkan perubahan segmen ST dan gelombang T yang tidak khas. Pada waktu serangan angina, EKG akan menunjukkan adanya depresi segmen ST dan gelombang T menjadi negatif. 2. Foto Rontgen Dada Foto rontgen dada seringkali menunjukkan bentuk jantung yang normal, tetapi pada pasien hipertensi dapat terlihat jantung yang membesar dan kadang-kadang tampak adanya kalsifikasi arkus aorta. 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium tidak begitu penting dalam diagnosis angina pectoris. Walaupun demikian untuk menyingkirkan diagnosis infark miokard jantung akut maka sering dilakukan pemeriksaan enzim CPK, SGOT, atau LDH. Enzim tersebut akan meninggi pada infark jantung akut sedangkan pada angina kadarnya masih normal. Pemeriksaan lipid darah seperti kadar kolesterol, HDL, LDL, dan trigliserida perlu dilakukan untuk menemukan faktor resiko seperti hiperlipidemia dan pemeriksaan gula darah perlu dilakukan untuk menemukan diabetes mellitus yahng juga merupakan faktor risiko bagi pasien angina pectoris. 4. Uji Latihan Jasmani Karena pada angina pectoris gambaran EKG seringkalimasih normal, maka seringkali perlu dibuat suatu ujian jasmani. Pada uji jasmani tersebut dibuat EKG pada waktu istirahat lalu pasien disuruh melakukan latihan dengan alat treadmill atau sepeda ergometer sampai pasien mencapai kecepatan jantung maksimal atau submaksimal dan selama latihan EKG di monitor demikian pula setelah selesai EKG terus di monitor. Tes dianggap positif bila didapatkan depresi segmen ST sebesar 1 mm atau lebih pada waktu latihan atau sesudahnya. Lebih-lebih bila disamping depresi segmen ST juga timbul rasa sakit dada seperti pada waktu serangan, maka kemungkinan besar pasien memang menderita angina pectoris. Di tempat yang tidak memiliki treadmill, test latihan jasmani dapat dilakukan dengan cara Master, yaitu latihan dengan naik turun tangga dan dilakukan pemeriksaan EKG sebelum dan sesudah melakukan latihan tersebut. 5. Thallium Exercise Myocardial Imaging Pemeriksaan ini dilakukan bersama-sama ujian latihan jasmani dan dapat menambah sensifitas dan spesifitas uji latihan.thallium 201 disuntikkan secara intravena pada puncak latihan, kemudian dilakukan pemeriksaan scanning jantung segera setelah latihan dihentikan dan diulang kembali setelah pasien sehat dan kembali normal. Bila ada iskemia maka akan tampak cold spot pada daerah yang yang menderita iskemia pada waktu latihan dan menjadi normal setelah pasien istirahat. Pemeriksaan ini juga menunjukkan bagian otot jantung yang menderita iskemia. 6. Uji Latih Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan menunjukkan tanda risiko tinggi perlu pemeriksaan ecerelse test dengan alat treadmill. Bila hasilnya negatif maka prognosis baik. Sedangkan bila hasilnya positif, lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam, dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi koroner, untuk menilai keadaaan pembuluh koronernya apakah perlu tindakan revaskularisasi (PCT atau CABG) karena risiko terjadinya komplikasi kardiovaskular dalam waktu mendatang cukup besar. 7. Ekokardiografi Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis angina tak stabil secara langsung. Tetapi bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri, adanya insufisiensi mitral dan abnormalitas gerakan dinding regional jantung, menandakan prognosis kurang baik. Ekokardiografi stres juga dapat membantu menegakkan adanya iskemia miokardium. g. Penatalaksanaan Ada dua tujuan utama penatalaksanaan angina pectoris : - Mencegahterjadinyainfarkmiokarddannekrosis, dengandemikian meningkatkankuantitashidup. - Mengurangi symptom danfrekwensisertaberatnya ischemia, dengan demikianmeningkatkankualitashidup. Prinsip penatalaksanaan angina pectoris adalah :meningkatkan pemberian oksigen ( dengan meningkatkan aliran darah koroner ) dan menurunkan kebutuhan oksigen ( dengan mengurangi kerja jantung ). Terapi Farmakologi untuk anti angina dan anti iskhemia. - Aspirin Aspirin blok trombosit cyclooxygenase oleh acetylation ireversibel, sehingga mencegah pembentukan tromboksan A veteran administrasi koperasi studi, percobaan Multicenter Kanada dan Montreal jantung Institut Studi menegaskan bahwa aspirin mengurangi risiko kematian dari jantung penyebab dan fatal dan mematikan infark miokard dengan 51 untuk 72 persen pada pasien dengan angina tidak stabil. Mengingat aspirin's kemampuan untuk menghambat Agregasi trombosit atas berbagai dosis, pengobatan dengan dosis awal setidaknya 160 mg per hari, diikuti dengan dosis 80 untuk 325 mg per hari untuk jangka waktu tak terbatas, dianjurkan saat ini, dengan pengertian bahwa obat aspirin dosis tinggi terkait dengan efek samping pencernaan lebih sering. Aspirin terbatas pada kemampuannya untuk mengurangi Agregasi trombosit karena memberikan cukup blokade aktivasi trombosit yang disebabkan oleh diphosphate adenosin (ADP), kolagen dan konsentrasi rendah trombin dan menyediakan tidak penghambatan adhesi trombosit. - Tiklopidin Tiklopidin, turunan thienopyridine, tampaknya menjadi alternatif lini kedua yang efektif terhadap aspirin dalam pengobatan tidak stabil angina dan juga memiliki peran sebagai terapi dengan aspirin untuk mencegah trombosis setelah penempatan stent intracoronary. Dengan mekanisme yang berbeda dari aspirin, tiklopidin blok Agregasi trombosit ADP-dimediasi dan transformasi trombosit fibrinogen reseptor menjadi bentuk afinitas tinggi. Studio della Ticlopidinia nell'Angina Instabile percobaan menunjukkan penurunan 46,3 persen dalam insidens titik akhir komposit utama kematian dan mematikan infark miokard pada enam bulan (insiden, 7,3 persen untuk tiklopidin tersebut menerima vs 13,6 persen untuk orang-orang yang menerima plasebo; P = 0.009) pada pasien yang dirawat dengan tiklopidin selain terapi konvensional. Pedoman praktek klinis menyarankan bahwa tiklopidin bisa diganti untuk aspirin pada pasien dengan hipersensitif terhadap aspirin atau intoleransi pencernaan, meskipun insiden 2,4 persen granulositopenia serius, biasanya reversibel setelah penghentian obat, membatasi penggunaannya yang luas. - Clopidogrel Clopidogrel adalah turunan thienopyridine baru berkaitan dengan tiklopidin. Itu mempengaruhi aktivasi ADP tergantung glikoprotein IIb/IIIa kompleks dan efektif menghambat Agregasi trombosit. Clopidogrel memiliki efek samping lebih sedikit dibandingkan tiklopidin dan belum dilaporkan untuk menyebabkan neutropenia. Pada tahun 1996 percobaan, 19,185 pasien dengan akibat penyakit vaskular, dinyatakan sebagai iskemik stroke, serangan jantung atau gejala penyakit vaskular perifer, secara acak untuk menerima clopidogrel atau aspirin. Setelah waktu tindak lanjut rata-rata tahun 1.9, clopidogrel terbukti lebih efektif daripada aspirin mengurangi resiko gabungan iskemik stroke, serangan jantung, atau kematian dari penyakit vaskular (risiko, 5,3 persen vs 5,8 persen; P = 0,04). Namun, kurangnya manfaat ditunjukkan dalam analisis independen subgrup dengan infark miokard (risiko, 5.0 persen vs 4,8 persen; P = 0.66). Selain itu, kombinasi dari clopidogrel dan aspirin tampaknya menjadi alternatif yang lebih aman dan menjanjikan untuk kombinasi dari tiklopidin dan aspirin dalam pencegahan trombosis koroner-stent. - Platelet glikoprotein IIb IIIa reseptor antagonis Tidak seperti agen antiplatelet target itu hanya salah satu dari banyak jalur individu yang terlibat dalam Agregasi trombosit, antagonis glikoprotein IIb/IIIa, ceptor pada trombosit untuk perekat protein seperti fibrogen dan von Willebrand faktor (Fig. 2), maksimal menghambat akhir jalur umum yang terlibat dalam trombosit adhesi, aktivasi dan agregasi. Tiga kelas glikoprotein IIb IIIa inhibitor telah dikembangkan: tumore-manusia antibodi chimeric (misalnya, abciximab), bentuk sintetis peptida (misalnya, eptifibatide), dan bentuk sintetis nonpeptide (misalnya, tirofiban dan lamifiban). Terapi antithrombin - Unfractionated Heparin Unfractionated heparin adalah glycosaminoglycan yang terdiri dari rantai polisakarida mulai berat molekul dari 3000 untuk 30,000. Rantai polisakarida ini mengikat antithrombin III dan menyebabkan perubahan konformasi yang mempercepat penghambatan trombin dan faktor Xa oleh antithrombin III. Suatu meta-analisis yang menunjukkan insiden rendah 33 persen infark miokard atau kematian di antara pasien yang menerima terapi kombinasi dengan aspirin dan unfractionated heparin dari antara mereka yang menerima aspirin sendirian. Pedoman praktek saat ini mendukung penggunaan kombinasi unfractionated heparin dan aspirin untuk pengobatan tidak stabil angina. Durasi maksimal infus kontinu pada pasien tanpa gejala adalah 48 jam setelah masuk, sejak lama pengobatan dapat menyebabkan insiden yang lebih tinggi kematian atau infark miokard daripada pendek pengobatan; Jika gejala menetap, namun, infus adalah dilanjut gejala menetap, namun, infus dilanjutkan sampai intervensi invasif yang dapat dilakukan. - Rendah molekul-berat Heparins Tidak seperti unfractionated heparin, persiapan lowmolecular-berat heparin memiliki kesamaan diprediksi pharmacokinetic profil tinggi ketersediaanhayati, paruh panjang plasma, dan cara yang mudah untuk administrasi (subkutan injeksi) tanpa perlu untuk memantau diaktifkan parsial-tromboplastin waktu. Rantai pendek (< 18 saccharides) fragmen lowmolecular-berat heparin telah dirumuskan, dengan berbagai Xa:anti anti-faktor-faktor rasio IIa (Table1). Tinggi rasio anti-faktor Xa anti-faktor Iia aktivitas menyediakan ampuh inhibisi generasi trombin serta penghambatan aktivitas trombin (Fig. 3) - Penyekat Beta Obat ini merupakan terapi utam apada angina. Penyekat beta dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan cara menurunkan frekwensi denyut jantung, kontraktilitas , tekanan di arteridanpereganganpadadinding ventrikelkiri. Efek samping biasanya muncul bradikardi dan timbul blok atrioventrikuler. Obat penyekat beta antara lain : atenolol, metoprolol,propranolol, nadolol. - NitratdanNitrit Merupakan vasodilator endothelium yang sangat bermanfaat untuk mengurangi symptom angina pectoris,disamping juga mempunyai efek antitrombotik dan antiplatelet. Nitrat menurunkan kebutuhan oksigen miokard melalui pengurangan preload sehingga terjadi pengurangan volume ventrikeldan tekanan arterial. Salah satu masalah penggunaan nitrat jangka panjang adalah terjadinya toleransi terhadap nitrat. Untuk mencegah terjadinya toleransi dianjurkan memakai nitrat dengan periode bebas nitrat yang cukup yaitu 8 – 12 jam. Obat golongan nitrat dan nitrit adalah :amilnitrit, ISDN, isosorbid mononitrat, nitrogliserin. - KalsiumAntagonis Obat ini bekerja dengan cara menghambat masuknya kalsium melalui saluran kalsium, yang akan menyebabkan relaksasi otot polos pembulu darah sehingga terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah epikardial dan sistemik. Kalsium antagonis juga menurunkan kabutuhan oksigen miokard dengan cara menurunkan resistensi vaskuler sistemik. Golongan obat kalsium antagonis Adalah amlodipin, bepridil, diltiazem, felodipin, isradipin, nikardipin, nifedipin, nimodipin, verapamil. Terapi Farmakologi untuk mencegah Infark miokar dakut - Terapi antiplatelet Obatnyaadalah aspirin diberikanpadapenderita PJK baik Akut atau kronik, kecuali ada kontra indikasi, maka penderita dapat diberikan Tiiclopidin atau clopidogrel. - TerapiAntitrombolitik Obatnya adalah heparin dan warfarin.Penggunaan Anti trombolitik dosis rendah akan menurunkan resiko terjadinya ischemia Padapen derita dengan factor resiko . - Terapi penurunan kolesterol Simvastatin akan menurunkan LDL ( low density lipoprotein ) sehingga memperbaiki fungsi endotel pada daerah atheroskelerosis maka aliran darah di arteriakoronaria lebih baik. Revaskularisasi Miokard Angina pectoris dapat menetap sampai bertahun-tahun dalam bentuk serangan ringan yang stabil. Namun bila menjadi tidak stabil maka dianggap serius, episode nyeri dada menjadi lebih sering dan berat, terjadi tanpa penyebab yang jelas. Bila gejala tidak dapat dikontrol dengan terapi farmakologis yang memadai, maka tindakan invasive seperti PTCA ( angioplasty coroner transluminal percutan ) harus dipikirkan untuk memperbaiki sirkulasi koronaria. Terapi Non Farmakologis Ada berbagai cara lain yang diperlukan untuk menurunkan kebutuhan oksigen Jantung antara lain : pasien harus berhenti merokok, karena merokok Mengakibatkan takikardia dan naiknya tekanandarah, sehingga memaksa Jantung bekerjakeras. Orang obesitas dianjurkan menurunkan berat badan untuk Mengurangi kerja jantung. Mengurangi stress untuk menurunkan kadar adrenalin Yang dapat menimbulkan vasokontriksi pembuluh darah. Pengontrolan gula darah. Penggunaan kontrasepsi dan kepribadian seperti sangat kompetitif, agresif atau ambisius. h. Komplikasi • Stres psikologi • Infark miokard • Aritmia • Gagal jantung Komplikasi yangdapat timbul dari PTCA adalah spasme arteria koronaria, kolaps atau rupture arteria. 1. Infarksi miokardium yang akut ( serangan jantung) Infark miokard akut ini atau disebut juga dengan AMI (akut miokard infark) adalah sebuah kondisi kematian pada miokard (otot jantung) akibat dari aliran darah ke bagian otot jantung terhambat atau juga terganggu. Infark miokard akut ini disebabkan adanya penyempitan atau pun sumbatan pembuluh darah koroner. Dan pembuluh darah koroner ini adalah pembuluh darah yang memberikan makan serta nutrisi ke otot jantung untuk menjalankan fungsinya 2. Kematian karena jantung secara mendadak Henti jantung mendadak (sudden cardiac death) adalah kematian yang terjadi sebagai akibat dari hilangnya fungsi jantung secara mendadak. Keadaan ini termasuk permasalahan kesehatan yang besar dan mengenaskan karena dapat menyerang secara tiba-tiba serta terjadi pada usia tua maupun muda. Keadaan henti jantung mendadak bisa saja terjadi pada seseorang dengan ataupun tanpa penyakit jantung sebelumnya. Namun penyebab utama seseorang mengalami henti jantung mendadak adalah karena penyakit jantung koroner. Sehingga cara penanganan untuk menurunkan risiko henti jantung mendadak adalah dengan menurunkan risiko penyakit jantung- seperti tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, dan merokok. 3.Aritmia kardiak Aritmia kardiak adalah suatu keadaan saat denyut jantung berdetak secara tidak teratur. Keadaan ini menyebabkan 250.000 kematian tiap tahunnya. ( Baradero dkk,2005) B. Hipertensi a. Pengertian Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dantekanandarah diastolic lebih tinggi dari 90 mmHg dengan periode yang panjang, berdasarkan pada rata-rata dari 2 atau lebih penghitungan tekanan darah (Sixth Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Presure (JNC VI)) (Brunner and Suddarth, 2001). Hipertensi adalah faktor penyebab utama kematian karena store dan faktor yang memperberat infark miokard (serangan jantung). Kondisi tersebut merupakan gangguan yang paling umu pada tekanan darah. Hiper merupakan gangguan asimptomatik yang orang dewasa buat saat bacaan diastolic rata rata dua atau lebih, paling sedikit duan kunjungan berikut adalah 90 mmHg atau lebih tinggi atau lebih tekanan darah multiple sistolik rerata pada dua atau lebih kunjungan berikutnya secara konsisten lebih tinggi dari 140 mmHg. ( potter & perry, 2005 ) Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah arteri yang persisten (Nanda Nic – Noc .jilid 1,2013 ) b. Etiologi Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan. 1. Hipertensi Primer (Esensial) Disebut juga hipertensi idiopatik kerena tidak diketahui penyebabnya. Faktor yang mempengaruhinya yaitu : genetik, lingkungan, hiperaktifitas saraf simpatis sistem renin. Angiotensin dan peningkatan Na + Ca intraseluler. 2. Hipertensi Sekunder Penyebab yaitu : penggunaan estrogen, penyakit ginjal, sindrom cushing dan hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. (Nanda Nic-Noc 2013) Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas: a. Hipertensi dimana tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan/atau tekanan diastolic sama atau lebih besar dari 90 mmHg. b. Hipertensi sistolik terisolasi dimana tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolic lebih rendah dari 90 mmHg. Penyebab hipertensi pada orang dengan usia lanjut adalah terjadinya perubahan-perubahan pada: a. Elastisitas dinding aorta menurun b. Katub jantung menebal dan menjadi kaku c. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah dan penyempitan lumen pembuluh darah Hal ini terjadi karena kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi e. Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer. c. Patofisiologi Patofisiologi hipertensi mencakup interaksi genetik dengan lingkungan yang meliputi proses retensi gara, penurunan ambang filtrasi ginjal, hiperaktivitas simpatis, ekses sistem RAA, perubahan membran sel, hiperinsulinmia dan disfungsi endotel. Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokonstriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medulla adrenal mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respons vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan 7 peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung mencetuskan keadaan hipertensi. Tekanan darah adalah tekanan yang diberikan oleh darah pada dinding pembuluh darah. Pengaturan tekanan darah adalah proses yang kompleks menyangkut pengendalian ginjal terhadap natrium dan restensi air, serta pengendalian system saraf terhadap tonus pembuluh darah. Ada 2 faktor utama yang mengatur TD , yaitu darah yang mengalir dari tahanan pembuluh darah perifer. Darah yang mengalir ditentukan oleh volume darah yang dipompakan oleh ventrikel kiri setiap kontrksi dan kecepatan denyut jantung. Tahanan vskuler perifer berkaitan dengan besarnya lumen pembuluh dara perifer. Makin msempit PD akin tinggi tahanan terhadap aliran darah , makin besar dilatasi nya makin kurang tahanan terhadap aliran darah. Jadi makin menyempit PD, makin meningkat TD. Dilatasi dan kontriksi pembuluh-pembuluh darah dikendalikan oleh Ssitem saraf simpatis dan system renin-angiotensin. Angiotensin I menstimullasi Renin Angiotensin II (MENSTIMULASI) Vasokontriksi (MENSTIMULASI) Aldosteron retensi air dan natrium Tekanan darah Apabila system saraf simpatis dirangsang, katekolamin, seperti epinefrin dan norepinefrin akan dikeluarkan. Kedua zat komia ini menyebabkann kontriksi pembuluh daah, meningkat nya uah jantung, dan kekuatan kontriksi ventrikel. Sama halnya pada system renin, angiotensin, yang apabila sistimulasi juga menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh – pembuluh darah. ( Baradero dkk,2005) d. Manifestasi klinis Iskemia otot jantung akan memberi nyeri dengan derajat yang bervariasi, mulai dari rasa tertekan pada dada sampai nyeri hebat yang disertai dengan rasa takut atau rasa akan menjelang ajal. Nyeri sangat terasa pada di daerah belakang sternum atas atau sternum ketiga tengah (retrosentral). Meskipun rasa nyeri biasanya terlokalisasi, namun nyeri tersebut dapat menyebar ke leher, dagu, bahu, dan aspek dalam ekstremitas atas. Pasien biasanya memperlihatkan rasa sesak, tercekik, dengan kualitas yang terus menerus. Rasa lemah di lengan atas, pergelangan tangan, dan tangan akan menyertai rasa nyeri. Selama terjadi nyeri fisik, pasien mungkin akan merasa akan meninggal. Karakteristik utama nyeri tersebut akan berkurang apabila faktor presipitasinya dihilangkan. Kualitas nyeri seperti tertekan benda berat, seperti diperas, terasa panas, kadang-kadang hanya perasaan tidak enak di dada (chest discomfort). Manifestasi hipertensi pada jantung dapat berupa hipertrofi ventrikel kiri, disfungsi diastolik, disfungsi sistolik/ gagal jantung kongestif serta progesivitas aterosklerosis koroner. Yangdapat muncul sebagai angina pektoris atau infark jantung akut dengan segala komplikasinya. e. Faktor resiko Faktor-faktor yang meningkatkan resiko : • Obesitas • Merokok • Alkohol • polisitemia. ( Nanda Nic – Noc 2013 ) f. Pemeriksaan diagnostik 1. Ekokardiografi Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi untuk didiagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiografi. Ekokardiografi dapat mendeteksi kelainan katup, disfungsi ventrikel kiri, shunt jantung. Untuk menilai tekanan sistolik ventrikel kanan dan ekokardiografi harus ada regurgitasi tricuspid. 2. Elektrokardiografi Elektrokardiogram juga juga harus dilakukan pada pasien yang dicurigai hipertensi, meskipun tidak spesifik untuk hipertensi. Gambaran tipikal pada EKG berupa strain ventrikel kanan, hipertrofi ventrikel kanan dan pergeseran aksis ke kanan dapat membantu menegakkan diagnosis hipertensi. 3. Pemeriksaan Angiografi Keteterisasi jantung merupakan baku emas untuk diagnosis hipertensi. Kateterisasi membantu diagnosis dengan menyingkirkan etiologi dan lain seperti penyakit jantung kiri dan memberikan informasi penting untuk dugaan prognostic pada pasien dengan hipertensi. ( sudoyo dkk,2010 ) Hipertrofi ventrikel kiri dapat dikaji dengan elektrokardiografi, protein dalam urine dapat dideteksi dengan urinalisa. Dapat terjadi ketidakmampuan untuk mengonsentrasi urine dan peningkatan nitrogen urea darah. Pemeriksaan khusus seperti renogram, pielogram intravena, arteriogram renal, pemeriksaan fungsi ginjal terpisah, dan penentuan kadar urine dapat juga dilakukan untuk mengidentifikasi klien dengan penyakit renovaskular. Adanya faktor risiko lainnya juga harus dikaji dan dievaluasi. (Arif Muttaqin, 2009) g. Penatalaksanaan medis  Terapi farmakologi Obat-obat hipertensi dapat dipakai sebagai obat tunggal atau dicampur dengan obat lain. Obat-obatan ini diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu: - Diuretik: Hidroklorotiazid adalah diuretik yang paling sering diresepkan untuk mengobati hipertensi ringan. Hidroklorotiazid dapat diberikan sendiri pada klien dengan hipertensi ringan atau klien yang baru. - Simpatolitik: Penghambat (adregenik bekerja di sentral simpatolitik), penghambat adregenik alafa, dan penghambat neuron adrenergik diklasifikasikan sebagai penekan simpatetik, atau simpatolitik. Penghambat adrenergik beta, dibahas sebelumnya, juga dianggap sebagai simpatolitik dan menghambat reseptor beta. - Vasodilator anteriol yang bekerja langsung: Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat tahap III yang bekerja dengan merelaksasikan otot-otot polos pembuluh darah, terutama arteri, sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi, tekanan darah akan turun dan natrium serta air tertahan, sehingga terjadi edema perifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator yang bekerja langsung untuk mengurangi edema. Refleks takikardia disebabkan oleh vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah. - Antagonis angiotensin (ACE Inhibitor). Obat dalam golongan ini menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE), yang nantinya akan menghambat pembentukan angiotensin II (vasokonstriktor) dan mneghambat pelepasan aldosteron. Aldosteron meningkat retensi natrium dan ekskresi kalium. Jika aldosteron dihambat, natrium dieksresikan bersama-sama dengan air. Katopril, enapril, dan lisinopril adalah ketiga antagonis angiotensin. Obat-obat ini dipakai pada klien dengan kadar renin serum yang tinggi. (Arif Muttaqin, 2009). - Hidroklorotiazid/HCT adalah diuretic yang paling sering diresepkan untuk mengobati hipertensi ringan. HCT dapat diberikan sendiri pada klien dengan hipertensi ringan atau klien yang baru. Banyak obat anti hipertensi dapat menyebabkan retensi cairan, karena itu, sering kali diuretic diberi bersama anti hipertensi lainnya. a. Beta-blockers (atenolol,bisoprolol,propranolol) b. Alfa-blockers (prazosin,terazosin,doxazosin) c. Mixed α-β-blockers (labetalol,carvedilol) d. Centrally acting agents(methyldopa,clonidine) e. Adrenergic neurone blocking agents (reserpine) Penghambat neuron adrenergic merupakan obat antihipertensi yang kuat yang menghambat noreepinefrin dari ujung saraf simoatis, sehingga pelepasan norepinefrin menjadi berkurang dan ini menyebabkan baik curah jantung maupun tahanan vascular perifer menurun. Reserpin danguanetidin (dua obat yang paling kuat) dipakai untuk mengendalikan hipertensi berat. Hipotensi ortostatik merupakan efek samping yang sering terjadi klien harus dinasihatkan untuk bangkit perlahan-lahan dari posisi berbaring atau dari posisi duduk. Obat-obat dalam kelompok ini dapat menyebabkan retensi natrium dan air. - ACE inhibitors (captopril,enalapril,lisinopril) Obat dalam golongan ini menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE), yang nanti nyaakan menghambat pembentukan angiotensin II (Vasikontriksi) dan menghambat pelepasan aldosterone. Aldosteron meningkatkan retensi natrium dan eksresi kalium. Jika aldosterone dihambat, natrium dieksresikan bersama-sama dengan air. Captopril, enalapril, danlisinopril adalah ketiga antagonis angiotensin. Obat-obat ini dipakai pada klien dengan kadar renin serum yang tinggi. - CCB (amlodipine,verapamil, diltiazem) - Vasodilators (hydralazine, minoxidil, nitroprusside) Vasodilator yang bekerja langsung adalah obat tahap III yang bekerja dengan merelaksasikan otot-otot polos pembuluh darah, terutama arteri, sehingga menyebabkan vasodilatasi. Dengan terjadinya vasodilatasi, tekanan darah akanturun dan natrium serta air tertahan, sehingga terjadi edema perifer. Diuretik dapat diberikan bersama-sama dengan vasodilator yang bekerja langsung untuk mengurangi edema. Refleks takikardia disebabkan oleh vasodilatasi dan menurunnya tekanan darah. - AIIRA (losartan,candesartan,valsartan, irbesartan) - Terapi vasodilator Pengguanan penghambat kalsium telah banyak diteliti dan digunakan sebagai terapi pada hipertensi, perbaikan terjadi pada kira kira 25-30%. Pemberian Nifedipin120-240 mg/hari atau diltiazem 540-900 mg/hari merupakan obat yang sering digunakan, sementara verapamil memperlihatkan efek inotropik negatif. - Prostanoid a. Epoprostenol. Pertama kali disetujui oleh FDA untuk tapi hipertensi pada tahun 1995. Pemakaian eposprenol jangka panjang memperbaiki hemodinamik, toleransi latihan, klas fungsional NYHA dan survival rate penderita hipertensi. b. Treprostinil. Didapatkan perbaikan indek hemodinamik dan kapasitas latihan yang diukur dengan kateterisasi dan latihan berjalan 6 menit. c. Iloprost inhalasi. Prostaksilin dengan bentuk kimia stabil yang tersedia dalam bentuk intravena, oral, dan aerosol, dengan waktu paruh 20-25 menit.  Terapi non farnakologi 1. Modifikasi Gaya Hidup Beberapa penelitian menunjukkan pendekatan nonfarmakologi yang dapat mengurangi hipertensi adalah sebagai berikut: a. Tekhnik-tekhnik mengurangi stress. b. Penurunan berat badan. c. Pembatasan alcohol, natrium dan tembakau. d. Olahraga/latihan (meningkatkan lipoprotein berdensitas tinggi.) e. Relaksasi merupakan intervensi wajib yang harus dilakukan pada setiap hipertensi. Klien dengan hipertensi ringan yang berada dalam risiko tinggi (pria, perokok) atau bila tekanan darah diastoliknya menetap diatas 85 atau 95 mmHg dan sistoliknya diatas 130 sampai 139 mmHg, perlu dimulai terapi obat-obatan. h. Komplikasi • Krisis hipertensi, penyakit arteri perifer, aneurisma aorta dissecting, PJK, angina, infark miokard, gagal ginjal, aritmia, dan kematian mendadak. • Serangan iskemik sepintas (transient ischemic attack, TIA), stroke, retinopati, dan ensefalopati hipertensi Menurut : Elizabeth Corwin 2000 • Stroke • Infark miokadium • Gagal ginjal • Ensafalopati Menurut Sustrani 2006 • Penyakit jantung koroner dan arteri • Payah jantung (congestive heart failure) • Perdarahan retina • Gagal jantung kogestif • Insufisiensi ginjal • Cedera serebrovaskular C. Kateterisasi jantung a. Pengertian Angiografi koroner adalah tindakan memasukkan kateter melalui arteri femoralis (Judkins) atau arteri brachialis (Sones) yang didorong sampai ke aorta assendens dan diarahkan ke arteri koronaria yang dituju dengan bantuan fluoroskopi (Woods, Froelicher, Motzer & Bridges, 2005).Diagnostik invasif kardiovaskuler adalah suatu tindakan pemeriksaan diagnosik untuk menentukan diagnosa secara invasif pada kelainan jantung dan pembuluh darah. Dikatakan invasif, karena tindakan ini memasukkan selang/tube kecil (kateter) ke dalam jantung, melalui pembuluh darah baik vena atau arteri. Oleh karena itu biasa disebut juga pemeriksaan kateterisasi jantung (Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe, 2001). Kateterisasi jantung adalah suatu pemeriksaan jantung dengan memasukkan kateter ke dalam sistem kardiovaskular untuk memeriksa keadaan anatomi dan fungsi jantung. Angiografi koroner atau penyuntikan bahan kontras ke dalam arteri koronaria merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk menentukan lokasi, luas dan keparahan sumbatan dalam arteri koronaria (Price & Wilson 2005). Angiografi koroner adalah tindakan memasukkan kateter melalui arteri femoralis (Judkins) atau arteri brachialis (Sones) yang didorong sampai ke aorta assendens dan diarahkan kearteri koronaria yang dituju dengan bantuan fluoroskopi (Woods, Froelicher, Motzer& Bridges, 2005). b. Indikasi a. Menyelamatkan gagalnya trombolisis b. Kondisi-kondisi klinis a) Syok kardiogenik b) Gagal jantung kongestif c) Diduga adanya komplikasi mekanis misal VSD, ruptur muskulus papilaris. d) Iskemia pada sebelum pelepasan ETT • Indikasi kateterisasi jantung secara umum menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001) dilakukan untuk beberapa kondisi yaitu : a) Penyakit jantung koroner yang jelas/didiagnosis. b) Sakit dada (angina pektoris) yang belum jelas penyebabnya. c) Angina pektoris yang tidak stabil/bertambah. d) Infark miokard yang tidak berespon dengan obat-obatan. e) Gagal jantung kongestif. f) Gambaran EKG abnormal (injuri, iskemik, infark), usia 50 tahun ke atas, asimtomatik. g) Treadmill test positif. h) Evaluasi bypass koroner. i) Abnormal irama (bradi/takhikardia). j) Kelainan katub jantung. k) Kelainan jantung bawaan. l) Kelainan pembuluh perifer. Hasil dari diagnosis kateterisasi jantung sering sangat sangat membantu dalam evaluasi pasien dengan penyakit jantung yang diduga atau dikenal. Misalnya, untuk menentukan jika penyumbatan di arteri yang memasok otot jantung (penyakit arteri koroner) hadir, pasien diposisikan di bawah mesin sinar-x dan contrast dye disuntikkan melalui kateter, ujung yang diposisikan di arteri koroner menarik. Gambar dihasilkan yang direkam pada film fotografi atau media digital, seperti komputer atau disk compact, untuk analisis selanjutnya dan penyimpanan. c. Jenis jenis kateterisasi jantung Menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2007) pemeriksaan kateterisasi jantung terbagi atas: a. Kateterisasi jantung kanan (untuk kelainan pada jantung kanan), misalnya Stenosis Pulmonal. b. Kateterisasi jantung kiri(untuk kelainan pada jantung kiri), misalnya penyakit jantung koroner, koartasio aorta. c. Kateterisasi jantung kanan dan kiri (untuk kelainan jantung kanan dan kiri), misalnya Tetralogi Of Fallot, transposisi arteri besar. Lebih lanjut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2007) menyebutkan bahwa pemeriksaan kateterisasi menurut pada intinya terbagi atas 2 tindakan yaitu angiogram dan penyadapan. a. Angiogram/angiography Yaitu memasukkan media/zat kontras ke dalam suatu rongga (ruang jantung/pembuluh darah), untuk meyakinkan suatu anatomi/aliran darah, kemudian merekam/mendokumentasikannya ke dalam film/CD/video sebagai data. b. Penyadapan Yaitu tindakan menyadap/merekam/mendokumentasikan tekanan, kandungan oksigen, sistem listrik jantung, tanpa menggunakanmedia kontras. d. Komplikasi Adapun komplikasi dari pemasangan kanulasi CVP antara lain : 1. Nyeri dan onflamasi pada lokasi penusukan 2. Bekuan darah karena tertekuknya kateter 3. Frekuensi napas, suara napas 4. Tanda kemerahan/pus pada lokasi pemasangan 5. Adanya gumpalan darah/gelembung udara pada kateter 6. Kesesuaian posisi jalur infus set 7. Tanda – tanda vital, perfusi 8. Tekanan CVP 9. Intake dan output 10. ECG monitor (Ruhyanudin, Faqih. 2006) 1. Komplikasi kateterisasi jantung a. Distritmia b. Perforasi aorta dan dinding jantung c. Hipotensi d. Episode iskemik e. Komlikasi emboli f. Perdarahan Kateterisasi jantung adalah umum prosedur diagnostik yang dilakukan _2 juta kali per tahun di Amerika Serikat dengan resiko minimal. Risiko kateterisasi jantung paling umum termasuk perdarahan atau hematoma. Langka risiko termasuk reaksi terhadap contrast dye, penurunan fungsi ginjal karena kontras pewarna, irama jantung yang tidak normal, dan infeksi. Komplikasi sangat jarang (_1%) termasuk serangan jantung, stroke, kebutuhan operasi jantung yang muncul, dan kematian. e. Teknik pemasangan kateterisasi jantung Rokhaeni, Purnamasari dan Rahayoe (2001) menyebutkan bahwa teknik memasukkan kateter PCA ada 2 cara yaitu : a) Perkutan atau percutaneous, seperti teknik memasang infus. b) Cutdown atau vena seksi, yaitu membuat sayatan pada otot dan mencari pembuluh darah kemudian melokalisasinya dan membuat tusukan pada pembuluh darah tersebut untuk memasukkan kateter.Teknik yang sering digunakan adalah cara perkutan karena komplikasi dari teknik ini sangat kecil dan mudah untuk mengerjakannya. Kateterisasi jantung dilakukan di dalam ruang operasi khusus yang dinamakan lab kateterisasi. Lab kateterisasi ini memiliki sinar X dan mesin pencitraan khusus yang tidak dimiliki oleh ruang operasi biasa. Kateterisasi jantung biasanya dilakukan saat masih terjaga, namun dalam pengaruh obat bius. Sebuah akses intravena akan dimasukkan ke dalam tangan atau lengan, dan akan digunakan untuk memberikan obat tambahan yang diperlukan selama tindakan berlangsung. Dada juga akan ditempelkan sadapan/elektroda untuk memeriksa detak jantung selama tindakan berlangsung. Sesaat sebelum tindakan berlangsung, seorang perawat atau teknisi akan mencukur rambut pada tempat dimana kateter akan dimasukkan. Sebelum kateter dimasukkan ke dalam pembuluh arteri, klien akan diberikan suntikan obat bius agar tidak merasa sakit. Klien dapat merasakan nyeri seperti digigit semut sesaat sebelum terasa baal. Setelah merasa baal, kateter akan dimasukkan. Akan dibuat suatu sayatan kecil, biasanya di kaki, untuk akses arteri. Sebuah selubung plastik akan dimasukkan melalui sayatan kecil tersebut agar Dokter dapat memasukkan kateter. f. Konsep perfusi kardiovaskuler Pada keadaan normal, aliran darah dan pasokan nutrisi jauh lebih besar daripada kebutuhan metabolic. Cadangan yang besar ini memungkinkan dipertahankannya keseimbangan metabolic, meskipun terdapat sedikit penurunan curah jantung atau peningkatan kebutuhan metabolic. Bila aliran darah sistemik turun secara progresif relarif terhadap kebutuhan jaringan, berbagai mekanisme kompensasi dikerahkan untuk mendistribusi kembali sirkulasi dan untuk memaksimalkan ekstraksi oksigen dan nutrisi lain dari darah. Pada proses tersebut terdapat perubahan yang besar dalam perfusi dan fungsi organ, perubahan ini memberikan tanda penting dari gangguan sirkulasi. Secara umum, aliran darah didistribusikan untuk memenuhi kebutuhan metabolic organ dan tekanan darah secara ketat diatur sehingga organ seperti otak dan jantung tetap mendapatkan perfusi yang baik meskipun terdapat perubahan posisi maupun aktivitas. Beberapa organ seperti kulit dan ginjal, mendapat aliran darah melebihi kebutuhan nutrisinya karena mereka melaksanakan fungsi khusus (pertukaran panas, filtrasi) yang memerlukan laju perfusi tinggi. Bila curah jantung turun, ada respon local maupun sistemik untuk mempertahankan perfusi ke organ-organ yang metabolismenya aktif dan untuk mempertahankan tekanan darah. Redistribusi aliran darah menjauhi organ seperti kulit menimbulkan beberapa perubahan khas pada pemeriksaan fisik yang membentu mengenali anak dengan gangguan sirkulasi. Tekaanan darah memberikan daya pendorong untuk memberikan perfusi organ dan jaringan. Karena ada sedikit sekali penurunan tekanan darah arteri-arteri besar. Sebagian besar organ mendapat darah dengan tekanan perfusi yang sama. Namun, ada perbedaan besar pada tekanan aliran darah intraorgan sehingga perfusi ke masing-masing organ sangat bervariasi meskipun tekanan perfusinya relative sama. Dengan demikian, aliran darah ke setiap organ ditentukan oleh pengaruh saraf dan humoral, yang bekerja mempertahankan tekanan perfusi terhadap organ selama naik turunnya curah jantung. Ini merupakan alas an mengapa tekanan darah rata-rata merupakan pengukuran disfungsi sirkulasi yang kurang sensitive dan dapat normal (atau bahkan meningkat) meskipun ada penurunan curah jantung yang cukup besar. Kapan saja tekanan darah menurun, ada refleks kontriksi yang cepat (dalam detik) pada hamper semua arteri dan vena yang diperantarai oleh system saraf simpatis. Respon kontriksi ini meningkatkan aliran darah balik vena meningkatkan, tahanan vaskuler, dan meningkatkan tekanan darah. Perubahan tekanan darah dideteksi oleh sinus karotikus dan baroreseptor aorta. Bila volume intravascular turun, reseptor tekanan rendah yang terletak di atrium dan pembuluh darah pulmonal teraktivasi, yang mengakibatkan respon kontriksi arteri dan vena yang serupa. Stimulasi simpatis kelenjar adrenal mengakibatkan pelepasan epinefrin dan norepinefrin, sedangkan konstriksi arteriol aferen ginjal menstimulasi peningkatan produksi renin, yang memulai peningkatan aldosterone, angiostensin II, dan secara tidak langsung hormone antidiuretik dalam sirkulasi. Setiap hormone ini merupakan vasokonstriktor kuat yang meningkatkan tekanan darah, selanjutnya hormone antidiuretic dan aldosteron berturut-turut meningkatkan reabsorbsi air dan natrium, yang membantu mengembalikan volume intravascular. Jadi, respon humoral melengkapi refleks saraf dan memberikan kisaran pengaturan sirkulasi yang lebih lama. Reperfusi miokardium dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti intervensi koroner dengan balon dan oemakaian stent sampai operasi CABG. Terapi ini harus mengutamakan tujuan penurunan mortalitas serta mengurangi serangan jantung bukan hanya untuk menguranhi simtom dan memperbaiki kualitas hidup. Keadaan keadaan yang memerlukan reperfusi miokardium pada AP adalah : a. Coronary artery bypass graft (CABG) b. Coronary artery bypass graft pada lesi 3 pembuluh terutama bila ada disfungsi LV c. Coronary artery bypass graft pada pasien lesi 2 pembuluh dan lesi proksimal LAD dan disfungsi LV atau terdapat iskemia pada tes non invasif d. Percutaneous coronary intervention pada pasien pasien dengan lesi 2 pembuluh dan proksimal LAD yang anantomis baik untuk PCI e. Percutaneous coronary intervention atau CABG pada pasien pasien dengan lesi 1 atau 2 pembuluh, tanpa proksimal LAD f. Coronary artery byoass graft pada pasien denga lesi 1-2 pembuluh tanpa proksimal LAD g. Percutaneous coronary intervention atau CABG pada pasien yang tidak berhasil baik dengan terapi konservatif, sedangkat reperfusi dapat dikerjakan dnega resiko lebih baik h. Reperfusi transmiokardial secara operatif menggunakan laser i. Terapi lain yang dapat dipertimbangkan adalah pemeberian hormon pengganti pada pasien perempuan posmenopos, bila tidak ada KI, penurunan BB pada obesitas, terapi asam folat pada pasien dengan peninggian homosistein, suplemen vit E dan C, identifikasi adanya depresi dan pengobatan yang adekuat. g. Konsep pemeriksaan diagnostik kardiovaskuler I. Transthoracic Echocardiography Echocardiography adalah tes diagnostic invasif yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan kardiovaskular. Dengan pencitraan berkualitas tinggi dan data hemodinamik dengan cara aman, cepat, dan tanpa rasa sakit. Pencitraan yang dapat dilakukan dengan menggunakan transthoracic atau probe transesophageal yang memancarkan gelombang ultrasound diarahkan pada struktur jantung. Dalam echocardiography transthoracic, probe ditempatkan pada eksternal atas dinding dada. Pasien diminta untuk berbaring di sebelah kiri mereka untuk visualisasi yang lebih baik dari struktur jantung. Elektrokardiografi terus menerus untuk memonitor siklus jantung. Transduser gel ditempatkan pada dinding dada untuk memfasilitasi transmisi ultrasound. Gelombang suara diinterpretasikan oleh mesin ultrasound untuk merekonstruksi gambar jantung. Echocardiography transthoracic berguna untuk menilai kondisi seperti dyspnea, sinkop, angina tanpa elevasi enzim jantung atau perubahan EKG, takikardia supraventricular, penyakit katup jantung, dan serebrovaskular. Ini juga digunakan untuk mengevaluasi sistolik ventrikel dan fungsi diastolik, kelainan pada gerakan dinding regional, perubahan hemodinamik, dan kehadiran efusi perikardial dengan atau tanpa tamponade jantung. II. Stress Testing Stress testing adalah salah satu metode yang paling umum digunakan dari penilaian noninvasif penyakit arteri koroner. Stress testing melibatkan penggunaan latihan (untuk pasien yang secara fisik mampu) atau obat-obatan seperti vasodilator dan dobutamin (untuk pasien yang secara fisik tidak mampu melakukan) untuk meningkatkan kerja miokard dan digunakan untuk menentukan adanya iskemia. Data penilaian dikumpulkan dengan menggunakan pemantauan EKG terus menerus, echocardiography, nuclear imaging, atau berbagai kombinasi dari 3 metode ini. III. Exercise Stress Testing Olahraga berat meningkatkan denyut jantung, stroke volume, dan cardiac output dan mengaktifkan sistem saraf simpatik, yang mengakibatkan vasokonstriksi pembuluh darah. Pelepasan norepinefrin dan peningkatan kadar renin dari hasil peningkatan kontraktilitas jantung. Selama latihan, terjadi peningkatan aliran darah koroner. Oleh karena itu latihan stress testing adalah cara yang berguna untuk menilai iskemia miokard dan kapasitas latihan. Sebelum stress testing dimulai, Peralatan seperti Cardiac Life Support harus siaga. Lead ditempatkan pada pasien di 12-lead EKG. Tanda-tanda vital dinilai bersama dengan riwayat pasien dan daftar obat. Obat-obatan seperti digoxin, calcium channel blockers, dan β-blocker dapat menghasilkan ST-segmen. Jika aman untuk dilakukan, pemberian obat-obat ini harus dihentikan 24 sampai 48 jam sebelum stress test dilakukan. IV. Pharmacological Stress Testing Pharmacological stress testing diindikasikan untuk pasien yang tidak mampu untuk berolahraga di treadmill. Vasodilator jantung seperti adenosin, dipyridamole, dan regadenoson dan inotrope dobutamin positif adalah agen umum digunakan dalam pengujian stres farmakologis.pharmacological stress testing. V. Adenosine Adenosine antagonizes α-adrenergik reseptor, mengakibatkan vasodilatasi dan penurunan denyut jantung. Adenosin berguna dalam pengujian stres farmakologis karena dapat meningkatkan aliran darah di arteri koroner normal dengan sedikit atau tidak ada perubahan dalam aliran di arteri pulmonalis. Arteri pulmonalis divisualisasikan dengan adenosine dan radiofarmaka yang menunjukkan kurang penyerapan obat radioaktif dari arteri normal. VI. Dipyridamole Dipyridamole (Persantine) adalah vasodilator lain yang dapat digunakan untuk stress nuclear imaging. Ini merangsang produksi prostasiklin, inhibitor ampuh agregasi trombosit dan vasodilatasi. Hal ini juga menghambat penyerapan adenosin dan meningkatkan konsentrasi lokal dari adenosin. Dipyridamole diberikan intravena pada 0,14 mg / kg per menit selama 4 menit. Sebuah radiofarmaka disuntikkan 3 sampai 5 menit setelah infus dipyridamole. VII. Regadenoson Regadenoson (Lexiscan) adalah obat lain yang dapat digunakan untuk pencitraan perfusi miokard. Beberapa bukti subyektif menunjukkan bahwa pasien merasa lebih baik setelah melakukan stress test regadenoson dari ada stress test adenosin. Regadenoson lebih kardioselektif untuk reseptor adenosin daripada adenosin dan diberikan sebagai bolus cepat tunggal 0,4 mg lebih dari 10 detik dan kemudian segera bolus 5-mL. Radiofarmasi untuk pencitraan perfusi miokard diberikan 10 sampai 20 detik setelah bolus. Regadenoson merupakan kontraindikasi pada pasien dengan blok jantung derajat dua dan tiga dan pada pasien dengan disfungsi sinus node yang tidak memiliki alat pacu jantung berfungsi. VIII. Dobutamine Dobutamin adalah stressor farmakologis yang berguna pada pasien yang tidak mampu secara fisik dan berolahraga memiliki kontraindikasi untuk menggunakan vasodilator, seperti gangguan paru obstruktif kronik. Dobutamin sering digunakan dalam hubungannya dengan ekokardiografi tetapi juga dapat digunakan dengan nuclear imaging. IX. Nuclear Stress Testing Kedua latihan dan stress testing farmakologis dapat digunakan dalam kombinasi dengan injeksi intravena radiofarmaka seperti klorida thallous Tl 201 atau technetium sestamibi Tc 99m (Cardiolite). Agen ini didistribusikan ke dalam jaringan miokard secara proporsional ke aliran darah. Dalam pengujian nuclear stress testing, biasa juga disebut pencitraan perfusi miokard, radiofarmaka disuntikkan pertama, sebelum stres latihan puncak atau vasodilatasi farmakologis puncak. Kemudian 15 sampai 20 menit kemudian, scan dilakukan. Setelah scan, agen menekankan dan suntikan kedua radiofarmaka disuntikkan. Kemudian setelah 30 sampai 60 menit, scan stres dilakukan untuk perbandingan. Pembuluh darah yang melebar mengambil lebih dari pemberian radiofarmaka daripada pembuluh darah yang mengalami gangguan. Kurangnya serapan dikenal sebagai cacat perfusi. Cacat perfusi reversibel menunjukkan iskemia dan akan terjadi selama stres tapi akan menormalkan saat jantung beristirahat. Cacat perfusi nonreversible atau tetap menunjukkan bekas luka atau hibernasi miokardium. Hibernasi miokardium didefinisikan sebagai daerah miokardium disfungsional yang meningkatkan perfusi. X. Computed Tomography Metode non invasiv diagnostik lainnya adalah computed tomography (CT). Teknik CT untuk memvisualisasikan arteri coroner sangat sulit, karena gerakan konstan dari jantung selama siklus jantung dan gerakan pernafasan yang dihasilkan diagfragma selama inspirasi dan ekspirasi. CT bias digunakan untuk mengetahui skor CAC dan pemeriksaan angiografi. XI. CAC Scoring(Coronary Artery Calcium) Proses aterosklerosis melibatkan deposisi kalsium di arteri koroner. Setiap deposisi kalsium di arteri koroner dianggap abnormal. Skrining CAC berguna sebagai metode tambahan untuk memprediksi risiko penyakit arteri koroner pada pasien tanpa gejala luar faktor risiko stratifikasi tradisional. Menurut pedoman, pasien yang tidak menunjukkan gejala dan beresiko rendah tidak harus menjalani pengukuran CAC untuk penilaian risiko kardiovaskular. Penggunaan CAC skor mungkin wajar, namun, pada pasien tanpa gejala yang berusia lebih dari 40 tahun dan memiliki diabetes mellitus (resiko tinggi). XII. Electron Beam CT Salah satu metode skrining CAC termasuk electron beam CT (EBCT). Dalam penggunaan EBCT, sinar elektron berputar di sekitar pasien yang terlentang di atas meja dengan lengan diletakkan di atas kepala atau di samping. Sinar diarahkan pada target tungsten stasioner yang terletak di bawah pasien. Dalam EBCT, algoritma scoring komputerisasi digunakan untuk menghasilkan skor kalsium, yang menyediakan pengukuran daerah dan kepadatan deposisi kalsium di arteri koroner. Rata-rata yang paling umum digunakan adalah skor Agatston. Pasien yang memiliki skor 10 atau kurang dianggap berisiko rendah. Skor dari 11-399 menunjukkan risiko menengah, dan pasien dengan skor CAC yang lebih besar dari 400 berada pada risiko yang sangat tinggi. XIII. CT Angiography CT angiography (CTA) adalah teknik yang sangat baik dan menggunakan bahan kontras intravena digunakan untuk memvisualisasikan dan mengukur daerah kalsifikasi plak koroner dan stenosis lumen. Meskipun dianggap kalah dengan kateterisasi jantung, CTA dapat memberikan visualisasi dari yang kecil, arteri berliku-liku (sekecil 1 mm diameter). Koroner CTA dapat memberikan informasi tentang distribusi, tingkat keparahan, morfologi, dan komposisi plak arteri koroner, bersama dengan informasi prognosis pada beratnya kedua obstruktif (> 50% penyumbatan) dan nonobstruktif (<50% penyumbatan) penyakit. CTA juga berguna dalam mengevaluasi patensi cangkok jantung bypass, mendeteksi anomali koroner, mengevaluasi aneurisma koroner dan massa jantung, dan menilai penyakit jantung kongenital kompleks. Metode ini dianggap lebih unggul kateter angiography untuk pencitraan aorta dan arteri pulmonalis. CTA kurang berguna dalam mengevaluasi pasien yang telah menerima stent perkutan karena stent dapat menyebabkan artefak. Risiko CTA termasuk reaksi alergi dan CIN karena media kontras iodinasi merupakan racun bagi sel-sel tubulus ginjal. Reaksi alergi adalah bentuk yang paling sering dari reaksi kontras material dan mungkin berakibat fatal. Pasien yang berisiko lebih besar untuk reaksi termasuk orang-orang dengan asma, riwayat reaksi terhadap bahan kontras, dan penyakit ginjal. Pasien yang berusia lebih dari 75 tahun atau yang memiliki gagal jantung kongestif, diabetes, atau multiple myeloma meningkatan risiko untuk CIN. CIN didefinisikan sebagai peningkatan tingkat serum kreatinin minimal 25% dari baseline setelah pemberian bahan kontras iodinasi. XIV. Cardiac MRI Dalam MRI jantung, magnet statis, energi frekuensi radio berdenyut, dan medan magnet gradien digunakan untuk menggambarkan tubuh. Dapat dilakukan dengan pasien pada saat istirahat atau selama pemberian intravena agen stres farmakologis seperti dobutamin. MRI jantung mungkin berguna untuk penilaian atau deteksi anatomi dinamis jantung dan fungsi ventrikel, kardiomiopati dan fibrosis, iskemia miokard dan kelangsungan hidup melalui penggunaan agen farmakologis, kelainan perfusi saat istirahat atau selama diinduksi farmakologi stres, massa jantung atau penyakit perikardial, penyakit katup , dan koroner anomali kompleks. Hal ini tidak dianjurkan untuk penilaian risiko kardiovaskular pada pasien yang tidak memiliki gejala penyakit jantung koroner. XV. Cardiac Chateterization Tes diagnostic yang digunakan untuk mengetahui kondisi jantung, biasanya disebut Coronary Angiogram. Selama pemeriksaan, pemeriksa meletakkan selang (kateter) ke dalam arteri di lengan atas. Kemudian pemeriksa memasukkan tabung melalui salah satu pembuluh darah anda menuju ke jantung anda, dan melalui tabung dan ke dalam arteri anda. Pemeriksa dapat melihat apakah ada blok pada arteri. Ini juga membantu untuk melihat seberapa baik jantung dan katup jantung anda bekerja. h. Konsep gangguan perfusi Pathogenesis Disfungsi sirkulasi mempunyai manifestasi non spesifik dan spesifik. Istilah gangguan perfusi menggambarkan semua keadaan penurunan cukup besar aliran darah kejaringan. Keadaan ini meliputi beragaisituasi, mulai dari penurunan ringan volume darah dalam sirkulasi sampai kolaps kardiovaskuler. Syok merupakan bentuk khusus gangguan perfusi yang mana aliran darah sistemik tidak cukup untuk memenuhi fungsi vital. Karena itu karakteristiknya jika dibiarkan tidak diterapi, dan bahkan seringkali meskipun sudah diterapi, keadaan ini dapat menimbulkan disfungsi progresif multiple organ dan tandai iskemia jaringan berat (asidemialaktat). Gangguan jantung merupakan bentuk lain gangguan perfusi yang ditandai dengan ketidak mampuan jantung untuk mempertahankan curah setara dengan kebutuhan metabolic tubuh. Meskipun mengakibatkan tanda dan gejala seperti dipsnea dan edema, gagal jantung kongestif berbeda dengan syok karena dia sebenarnya bersifat stabil, mekanisme kompensasi system kardiovaskuler memungkinkan mempertahankan semua fungsi vital, meskipun adaptasi ini menimbulkan komplikasi. I. Terapi perfusi jika ditemukan bahwa penderita memerlukan perbaikan perfusi, jalan masuk vaskular harus dibuka. Pemasangan kateter vena perifer perkutan diberikan pada penderita dengan penurunan volume. Teknik seperti kanulasi perkutan vena sentral besar, venaseksi, atau kanulasi intraossea tepat bila penderita syok dan tidak ada cara untuk pemberian cairan dan obat. Bila sirkulasi tidak penuh terisi, biasanya akan dibantu dengan infus cairan kristalloid yang cepat dan berulang dalam campuran isotonis dalam kelipatan 5-10 ml/kg Bantuan inotropik harus diberikan kapanpun terdapat bukti langsung menurunnya fungsi miokardium (kecuali pada kardiomiopati obstruktif). Obat inotropik yang paling sesuai diberikan adalah secara intravena; dosis dapat disesuaikan dengan perubahan keadaan. Obat yang paling lazim digunakan adalah agonis-β yang bekerja langsung dan tidak langsung, yang meliputi epinefrin, dopamin, dan dobutamin, serta inhibitor fosfodiesterase, amrinone. J . ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pre kateterisasi I. Pengkajian 1. Identitas Nama : Ny. D Umur : 55 tahun Jenis kelamin : perempuan 2. Riwayat kesehatan Keluhan utama : nyeri dada disertai sesak napas 3. Pemeriksaan fisik Kesadaran : komposmentis TTV : - Nadi : 120 x/menit - RR : 66 x/menit - BP : 165 x 100 Toraks Jantung - inspeksi : tampak ictus cordis - Palpasi : ictus cordis kuat angkat - Perkusi : batas jantung melebar - Auskultasi : disritmia, galop II. Analisa Data 1. Ds : pasien mengatakan cepat lelah saat beraktivitas dan nyeri pada dadanya. Do : TTV (nadi 120 x/menit, RR 66 x/menit, BP 165 x 100) Etiologi : penurunan kontraktilitas miokard Masalah : penurunan cardiac output 2. Ds : klien mengatakan sesak napas. Do : TTV (nadi 120 x/menit, RR 66 x/menit, BP 165 x 100) Etiologi : terjadi penekanan Masalah : nyeri akut III. Diagnosa keperawatan 1. Penurunan cardiac output b.d penurunan kontraktilitas miokard 2. Gangguan intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen Dx 1 Tujuan dan kriteria hasil: Setelah dilakukan proses keperawatan selama 1x24 jam diharapkan keseimbanhan heart rate dan frekuensi jantung dapat terjaga dengan KH: K: pasien dan keluarga pasien mengetahui apa yang menyebabkan daarimenurunnya kardiac output A: pasien dan keluarga pasien bisa menunjukkn bagaimana cara untuk menjaga kardiac output tetap stabil. P: pasien dan keluarga pasien bisa mempertahankan kardiac output tetap stabil P: TTV normal TD 110/70-120-80 mmHg suhu: 36,5-37,5oC RR: 16-24x/menit nadi: 60-100x/menit Tidak ada bunyi jantung tambahan S3 (gallop) dan S4 (murmur) Tidak ada edema Intervensi - Observasi TTV - Auskultasi bunyi jantung, catat frekuensi, irama. - Catat adanya denyut jantung ekstra, penurunan nadi. - Observasis status mental, catat perkembangan kekacauan, doisorientasi. - Catat warna kulit, adanya kualitas pulse. - Pantau status kardiovaskuler setiap jam sampai stabil melalui parameter hemodinamik - Kolaborasi obat anti aritmia Dx 2 Tujuan dan KH Setelah dilakukan proses keperawatan selama 1x24 jam diharapkan pasien dapat melakukan aktivitas seperti biasa dan tidak mudah elah dengan KH: K: pasien dan keluarga pasien mengetahui penyebab dari gangguan intoleransi aktifitas A: pasien dan keluarga pasien mampu menunjukkan bagaimana cara mengatasi gangguan intoleransi aktivitas. P: pasien dan keluarga pasien mampu mengatasi gangguan intoleransi aktivitas P: TTV normal TD 110/70-120-80 mmHg suhu: 36,5-37,5oC RR: 16-24x/menit nadi: 60-100x/menit Suara nafas vesikuler Mukosa dan dasar kuku berwarna merah muda Intervensi - Observasi TTV - Catat respon kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, disritmia, dispnea, berkeringat, pucat. - Obeservasi warna kulit, membran mukosa dan warna kulit - Catat adanya sianosis perifer (kuku) atau sianosis sentral. - Evaluasi peningkatan intoleransi aktivitas - Anjurkan untuk menarik napas dalam, battuk efektif, berpindah posisi, memakai spironmeter, dan mematuhi terapi napas. II. Post kateterisasi - Perubahan perfusi kardiopulmonal perifer dan serebral b.d aliran darah terhenti sekunder dengan procedural kateterisasi Hal yang dperkirakan : selama 2 jam setelah prosedur, pasien mempunyai perfusi yang adekuat ditandai dengan FJ teratur dan tidak melebhi dari 20 dpm dari FJ dasar: kesamaan nadi apical/ radialis : TD tidak melebihi 20 mmhg dari TD dasar. 1. Pantau TD setiap 15 menit sampai stabil pada tiga pemeriksaan beruruttan setiap 2 jam selama 12 jam berikutnya dan setiap 4 jam seterusnya . bila tekanan sistolik trun hngga 20 mmhg dibawah catatan sebelumnya,turunkan KTT dan konsul dokter. 2. Waspada dan laporkan indicator penurunan perfusi : ektemitas dingin, penurunan aplitudo dan nadi perifer, sianosis, sesak napas 3. Pantau FJ , konsul doketr bila terjadi distritmia 4. Bila arteri femolaris yg digunakan , pertahankan KTT dengan kemiringan 30 drjat untuk mencegah fleksi sendi panggul ( L Sweatingger .2000) Biasanya tindakan ini memakan waktu beberapa jam untuk pemulihan. Setelah tindakan selesai, klien akan dibawa dengan brankard keruang pemulihan sambil menunggu efek biusnya menghilang. Hal ini biasanya memakan waktu 1 jam. Lapisan plastik yang dimasukkan melalui lipatan paha, leher atau lengan akan segera dilepaskan segera setelah tindakan selesai, kecuali apabila memerlukan terapi pengenveran darah. Setelah meninggalkan ruang pemulihan, klien akan dibawa keruang perwatan. Setelah kateter dilepas,teknisi atau perawat akan memberikan tekanan pada tempat pemasangan lapisan plastik tadi. Klien akan diminta berbaring lurus terlentanfg selama 1-6 jam setelh tindakan untuk menghindari perdarahan serius dan membantu pemulihan arteri. BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Angina atau angina pectoris sering merupakan gejala pertama dari penyakit arteri coroner (CAD) dan, dalam beberapa kasus, serangan jantung. Seringkali angina mungkin mendahului serangan jantung selama beberap pekan atau bahkan beberapa bulan sebelum serangan. Hipertensi adalah faktor penyebab utama kematian karena store dan faktor yang memperberat infark miokard (serangan jantung). Kondisi tersebut merupakan gangguan yang paling umu pada tekanan darah. Hiper merupakan gangguan asimptomatik yang orang dewasa buat saat bacaan diastolic rata rata dua atau lebih, paling sedikit duan kunjungan berikut adalah 90 mmHg atau lebih tinggi atau lebih tekanan darah multiple sistolik rerata pada dua atau lebih kunjungan berikutnya secara konsisten lebih tinggi dari 140 mmHg. ( potter & perry, 2005 ) Kateterisasi jantung adalah suatu pemeriksaan jantung dengan memasukkan kateter ke dalam sistem kardiovaskular untuk memeriksa keadaan anatomi dan fungsi jantung. Angiografi koroner atau penyuntikan bahan kontras ke dalam arteri koronaria merupakan tindakan yang paling sering digunakan untuk menentukan lokasi, luas dan keparahan sumbatan dalam arteri koronaria (Price & Wilson 2005) B. SARAN Demikian pembahasan oleh penulis mengenai apa yang dimaksud dengan angina pectoris,hipertensi,kateterisasi jantung dan mekanisme pemasangan kateterisasi jantung dalam makalah ini. Tentu dalam pembahasannya masih sangat banyak kekurangan baik menyangkut isi makalah, serta penjelasan-penjelasan tentang angina pectoris,hipertensi,kateterisasi jantung itu sendiri. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian mengenai isi makalah dan pembahasannya maupun cara penulisan makalah, agar dalam penulisan makalah selanjutnya penulis dapat lebih baik lagi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian dan menjadi referensi dalam mendalami materi angina pectoris,hipertensi dan kateterisasi jantung DAFTAR PUSTAKA (Sixth Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Presure (JNC VI)) (Brunner and Suddarth, 2001). Brunner and Suddarth. 2001. Texbook of Medical Surgical-Nursing. 10th Ed. Philadelpia: Lippincott Williams and Wilkins Edwar K. Chung,MD. 2010. 100 Tanya Jawab Mengenai Serangan Jantung dan Masalah-Masalah Terkait dengan Jantung. Jakarta : PT Indeks. T. Santoso : Simposium Kardioproteksi pada penderita penyakit jantung iskemik dan hipertensi, 2000 Nurarif Amin Huda, Kusuma Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jakarta : Media Action. Effendy, Christantie. 2008. Handout Kuliah Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.) Sudoyo, Aru W.,dkk.2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Ed 3. Jakarta: InternaPublishing Gray, H. Huon, dkk. 2003. Lectures Note Kardiologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika. runner &Suddarth.2002.Keperawatan Medical-BedahVol 2.Jakarta : EGC Marilyn E. doenges at all. 2000. RencanaAsuhanKeperawatan. Jakarta : EGC Katzung, Bertram G at all. 2014 FarmakologiDasar&Klinik Edisi.12 Jakarta: EGC. Sudoyo, Aru W., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Ed. 3. Jakarta: InternaPublishing Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jilid 1. Yogyakarta : MediAction. Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC Ramos, Lupe M. (2014). “Cardiac Diagnostic Testing: What Bedside Nurses Need to Know”.American Association of Critical-Care Nurses Vol 34, No. 3, Baradero,Mary. Wilfrid Dayrit Mary. Siswadi,Yakobus.2005. Seri Asuhan Keperawtan Klien gangguan Kardiovaskular.EGC. Jakarta L Sweatingger Pamela. 2000. Pocket guide to medical surgical nursing 2/E. EGC. Jakarta Grahame-Smith and Aronson (2002). Oxford Textbook of Clincal Pharmacology and Drug Therapy,3rd Edition, Oxford University press.) Baughman, Diane C.2000. Keperawatan Medikal-Bedah : Buku Saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta : EGC) (Sudoyo, Aru W. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 2010. Jakarta : InternaPublishing) Price, S & Wilson, L. 2005. Patofisiologi: KonsepKlinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. Rokhaeni, H., Purnamasari, E., &Rahayoe, A. U. 2001. Buku Ajar KardiovaskulerPusatJantungNasional (National Cardiovasculer Center Harapan Kita). Jakarta: BidangPendidikandanPelatihanPusatKesehatanJantungdanPembuluhDarahNasional “Harapan Kita”. Woods, S. L., Froelicher, E. S. S., Motzer, S. U., & Bridge, E. J. 2005. Cardiac Nursing . 5th Edition. Philadelpia: Lippincot Williams and Wilkins. Effendy, Christantie. 2008. Handout Kuliah Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC. Mary Baradero, Mary Wilfrid Dayrit, Yakobus Siswadi, 2008, Seri Asuhan Keperawatan Kilen Gangguan Kardiovaskuler, Jakarta: EGC Mary Baradero, Mary Wilfrid Dayrit, Yakobus Siswadi, 2008, Seri Asuhan Keperawatan Kilen Gangguan Kardiovaskuler, Jakarta: EGC Ruhyanudin, Faqih. 2006. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler.Malang: UMM Press. Karimun III.2004.Pendekatan Holistik Sistem Kardiovaskuler III.FKUI:Pusat Informasi dan Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Eagle,kim A.2005.Algoritme pengambilan keputusan klinis.Jakarta:EGC Behrman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 3. Jakarta: EGC Baughman, Diane C.2000. Keperawatan Medikal- Bedah : buku saku untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta : EGC) New England Journal of Medicine-download dari nejm.org untuk pada tanggal 8 Oktober tahun 2015) Sirkulasi. 2003; 107:e111-e113.) © 2003 American Heart Association, Inc sirkulasi tersedia di http://www.circulationaha.org Buku Catatan Saku Perawatan Kritis

skizofren paranoid (kelompok 3)

BAB 1 PENDAHULAN 1.1. Latar Belakang Data WHO menunjukkan bahwa di tahun 2002 saja diketahui tidak kurang dari 154 juta penduduk dunia yang depresi, 25 juta skizofrenia, 91 juta mengalami gangguan mental akibat alcohol, 15 juta gangguan mental karena penyalahgunaan obat, 50 juta epilepsy, dan 24 juga Alzheimer dan demensia lainnya. Hal yang lebih mencengangkan lagi bahwa terdapat rata-rata 877.000 orang bunuh diri setiap tahun (Addington D et al., 2005). Onset untuk laki-laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35 tahun. Skizofrenia tipe paranoid terjadinya lebih awal pada laki-laki dibandingkan perempuan. Prognosis Skizofrenia Paranoid lebih baik dibandingkan tipe-tipe yang lain karena mempunyai respon yang baik dalam pengobatan. Berdasarkan laporan RISKESDAS Kementerian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2007 prevalensi gangguan jiwa berat (Skizofrenia) di Indonesia adalah sebesar 4,6%. Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (20,3 %) yang kemudian secara berturut-turut diikuti oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (18,5 %), Sumatera Barat (16,7 %), Nusa Tenggara Barat (9,9 %), Sumatera Selatan (9,2 %). Prevalensi terendah terdapat di Maluku (0,9 %) (RISKESDAS, 2007). Pada tahun 2009 di RSJ Soeharto Heerdjan Jakarta jumlah penderita skizofrenia paranoid yang rawat jalan sebanyak 33% dan yang rawat jalan sebanyak 41%. Angka ini menunjukkan bahwa skizofrenia paranoid tercatat paling tinggi dibandingkan gangguan jiwa lainnya. Hal ini kemungkinan juga terjadi di Rumah Sakit Jiwa lainnya di Indonesia. Pada Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia sebesar 1,7 ‰. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah. Jumlah seluruh RT (Rumah Tangga) yang dianalisis adalah 294.959 terdiri dari 1.027.763 ART (Anggota Rumah Tangga) yang berasal dari semua umur. RT yang menjawab memiliki ART dengan gangguan jiwa berat adalah sebanyak 1.655 RT, terdiri dari 1.588 RT dengan 1 orang ART, 62 RT 2 memiliki 2 orang ART, 4 RT memiliki 3 ART, dan 1 RT dengan 4 orang ART yang mengalami gangguan jiwa berat. Sehingga jumlah seluruh responden dengan gangguan jiwa berat berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2013 sebanyak 1.728. Prevalensi psikosis tertinggi di DI Yogyakarta dan Aceh (masing-masing 2,7‰), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7‰). etd.repository.ugm.ac.id/.../79459/.../S1-2015-300601-introduction.pdf 1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini diantaranya: 1. Apa saja konsep-konsep yang harus diketahui mengenai gangguan Skizofrenia Paranoid baik itu definisi, etiologi, gejala-gejala, fase-fase, diagnostic dari Skizofrenia paranoid, serta pengobatan dan terapi yang tepat dilakukan oleh perawat dalam menghadapi kasus pasien dengan Skizofrenia Paranoid? 2. Bagaimana proses Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Sensori pada kelompok Skizofrenia Paranoid? 1.3. Tujuan Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya: 1. Menjelaskan konsep-konsep yang harus diketahui mengenai gangguan Skizofrenia Paranoid baik itu definisi, etiologi, gejala-gejala, fase-fase, diagnostic dari Skizofrenia paranoid, serta pengobatan dan terapi yang tepat dilakukan oleh perawat dalam menghadapi kasus pasien dengan Skizofrenia Paranoid; 2. Menjelaskan proses Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Sensori pada kelompok Skizofrenia Paranoid. BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Definisi Skizofrenia adalah pola penyakit bidang psikiatri, merupakan sindroma klinis dari berbagai keadaan psikopatologis yang sangat menganggu serta melibatkan proses pikir, persepsi, emosi, gerakan dan tingkah laku (Buchanan & Carpenter, 2005). Skizofrenia paranoid adalah jenis skizofrenia yang sering dijumpai di negara manapun menurut DSM-IV-TR kriteria diagnostic pada skizofrenia paranoid harus ditemukan 2 gejala yaitu adanya delusi (waham) dan halusinasi. Adapun kriteria diagnostic lainnya adalah kekacauan ucapan, tingkah laku dan gejala-gejala negative namun ini tidak dominan (Katherine & Patricia, 2000). Skizofrenia adalah suatu gangguan psikotik yang dikarakteristikkan oleh gangguan dalam berpikir (kognisi), respon emosi, dan perilaku (APA, 2007). Skizofrenia Paranoid yaitu gangguan skizofrenik yang didominasioleh waham paranoi(paranoid delusions) yang relative stabil, biasanya disertai dengan halusinasi(hallucinations), terutama berbagai variasi halusinasi dengar dan gangguan persepsi lainnya. Gangguan efek, minat, pembicaraan, dan gejala katatonik tidak ada atau relative tidak jelas. (leksikon istilah kesehatan jiwa dan psikiatrik edisi 2 EGC) Skizofrenia paranoid adalah salah satu jenis skizofrenia dimana pasien memiliki waham (keyakinan palsu) bahwa ada seseorang atau sekelompok individu berupaya menyeran mereka atau anggota keluarga mereka. (Diana.2010) Diana.2010. Gejala skizofrenia paranoid .medicalera. http://medicalera.com/3/10240/gejala-skizofrenia-paranoid 2.2. Etiologi A. Organobiologik Hingga sekarang banyak teori yang dikembangkan untuk mengetahui penyebab skizofrenia, antara lain: factor genetik, virus, auto-antibodi, melnutrisi (kekurangan gizi). Kesimpulannya adalah bahwa gejala skizofrenia baru muncul bila terjadi interaksi antara gen abnormal dengan (Hawari, 2006): 1. Virus atau infeksi lain selama kehamilan yang dapat menganggu perkembangan otak janin. 2. Menurunnya auto-immune yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan. 3. Berbagai macam komplikasi kandungan. 4. Kekurangan gizi yang cukup berat terutama pada trimester pertama kehamilan. B. Psikodinamik Mekanisme terjadinya skizofrenia pada diri seseorang dari sudut psikodinamik dapat diterangkan dengan dua buah teori yaitu: 1. Teori Homeostatik-Deskriptif Dalam teori ini diuraikan gambaran gejala-gejala (deskripsi) dari suatu gangguan jiwa yang menjelaskan terjadinya gangguan keseimbangan (balance) atau homeostatic pada diri seseorang, sebelum dan sesudah terjadinya gangguan jiwa tersebut (Hawari, 2006). 2. Teori Fasilitatif-Etiologik Dalam teori ini diuraikan factor-faktor yang memudahkan (fasilitasi) penyebab (etiologi) suatu penyakit itu muncul, bagaimana perjalanan penyakitnya dan penjelasan mekanisme psikologis dari penyakit yang bersangkutan (Hawari, 2006). Selanjutnya menurut teori Freud suatu gangguan jiwa muncul akibat terjadinya konflik internal pada diri seseorang yang tidak dapat beradaptasi dengan dunia luar. Sebagaimana diketahui bahwa pada setiap diri terdapat tiga unsur psikologik yang dinamakan dengan istilah Id, Ego dan Super-Ego (Hawari, 2006). Menurut teori Freud ini Id adalah bagian dari jiwa seseorang berupa dorongan atau nafsu yang sudah ada sejak menusia dilahirkan yang memerlukan pemenuhan dan pemuasan segera. Misalnya dorongan atau nafsu makan, minum, seksual, agresivitas dan sejenisnya. Unsur Super-Ego sifatnya sebagai badan penyensor yang memiliki nilai-nilai moral etika yang membedakan mana yang boleh mana yang tidak, mana yang baik mana yang buruk, mana yang halal mana yang haram dan sejenisnya, atau dengan kata lain merupakan hati nurani manusia. Sedangkan unsur Ego merupakan badan pelaksana yanag menjalankan kebutuhan Id setelah disensor dahulu oleh Super-Ego (Hawari, 2006). C. Psikoreligius Dari sudut pandang agama Islam teori Freud tersebut sebenarnya sudah ada hanya peristilahannya yang berbeda. Dalam Islam Id dikenal dengan istilah nafsu yang berfungsi sebagai dorongan atau daya tarik. Untuk melaksanakan kebutuhan nafsu, manusia dibekali dengan iman yang berfungsi sebagai self-control. Dengan adanya iman ini manusia dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk dan mana yang halal mana yang haram. Dalam teori Freud isitilah iman sama dengan Super-Ego. Manusia melaksanakan kebutuhan nafsu tadi dalam bentuk perbuatan, perilaku atau amal yang kesemuanya itu disebut sebagai akhlak. Akhlak seseorang akan menjadi baik atau buruk tergantung dari hasil Tarik-menarik antara nafsu dan iman. Dalam konsep Freud akhlak ini disebut Ego(Hawari, 2006). D. Psikososial Situasi atau kondisi yang tidak kondusif pada diri seseorang dapat merupakan stressor psikososial. Stressor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa mengadakan penyesuaian diri untuk menanggulangi stressor (tekanan mental) yang timbul. Kegagalan dari adaptasi ini yang menyebabkan timbulnya berbagai jenis gangguan jiwa yang salah satunya adalah skizofrenia (Hawari, 2006) Pada umumnya jenis stressor psikososial yang dimaksud meliputi permasalahan rumah tangga, problem orang tua, hubungan interpersonal, pekerjaan, kondisi lingkungan, masalah ekonomi, keterlibatan masalah hokum, adanya penyakit fisik yang kronis. Secara sederhana dapat disiumpulkan bahwa seseorang dapat mengalami konflik kejiwaan yang bersumber dari konflik internal dan konflik eksternal. Tidak semua orang mampu menyelesaikan konflik yang dialaminya sehingga orang tersebut jatuh dalam keadaan frustasi yang mendalam. Sebagai kelanjutannya yang bersangkutan menarik diri (withdrawn), melamun (day dreaming), hidup dalam dunianya sendiri yang lama-kelamaan timbullah gejal-gejala berupa kelainan jiwa misalnya halusinasi, waham dan lain sebagainya. Yang bersangkutan tidak lagi mampu menilai realitas dan pemahaman diri (insight) buruk, yang merupakan perjalanan awal skizofrenia (Hawari, 2006). 2.3. Gejala-gejala Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu gejala positif dan gejala negatif (Kaplan & Sadock, 1994). A. Gejala Positif Gejala positif yang diperlihatkan pada penderita skizofrenia adalah sebagai berikut: 1. Delusi atau waham, yaitu suatu keyakinan yang tidak rasional yang tidak sejalan dengan intelegensia pasien dan latar belakang budaya. Meskipun telah dibuktikan secara objektif bahwa keyakinannya itu tidak rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya. 2. Halusinasi, yaitu pengalaman panca indera tanpa ada. Misalnya penderita mendengar suara-suara/bisikan-bisikan ditelinganya padahal tidak ada sumber dari suara/bisikan itu. 3. Kekacauan alam pikir, yang dapat dilihat dari isi pembicarannya. Misalnya bicaranya kacau, sehingga tidak dapat diikuti alur pikirannya. 4. Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan. B. Gejala Negatif Gejala-gejala negative yang diperlihatkan pada penderita skizofrenia adalah sebagai berikut: 1. Alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”. Gambaran alam perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi. 2. Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn) tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming). 3. Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam. 4. Pola pikir stereotip. Gejala-gejala yang terdapat pada skizofrenia paranoid adalah sebagai berikut: A. Waham (delusion) yang menonjol misalnya waham kejar, waham kebesaran dan lain sebagainya. B. Halusinasi yang menonjol misalnya halusinasi auditorik, halusinasi visual dan lain sebagainya. C. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol. 2.4. Fase-fase Skizofrenia dapat dilihat sebagai suatu gangguan yang berkembang melalui fase-fase (Lehman A.F et al., 2004): A. Fase Premorbid Pada fase ini, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan normatif. B. Fase Prodormal Adanya perubahan dari fungsipada fase premorbid menuju saat muncul gejala psikotik yang nyata. Fase ini dapat berlangsung dalam beberapa minggu atau bulan, akan tetapi lamanya fase prodromal ini rerata antara 2 sampai 5 tahun. Pada fase ini, individu mengalami kemunduran dalam fungsi-fungsi yang mendasar (pekerjaan social dan rekreasi) dan muncul gejala nonspesifik, missal gangguan tidur, ansietas, iritabilitas, mood depresi, konsentrasi berkurang, mudah lelah, dan adanya deficit perilaku misalnya kemunduran fungsi peran dan penarikan sosial. Gejala positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan berarti sudah mendekati mulai menjadi psikosis. C. Fase Psikotik Berlangsung mulai dengan fase akut, lalu adanya perbaikan memasuki fase stabilisasi dan kemudian fase stabil. 1. Pada fase akut dijumpai gambaran psikotik yang jelas, misalnya dijumpai adanya waham, halusinasi, gangguan proses pikir, dan pikiran yang kacau. Gejala negatif sering menjadi lebih parah dan individu biasanya tidak mampu untuk mengurus dirinya sendiri secara pantas. 2. Fase stabilisasi berlangsung selama 6-18 bulan, setelah dilakukan acute treatment. 3. Pada fase stabil terlihat gejala negatif dan residual dari gejala positif. Dimana gejala positif bisa masih ada, dan biasanya sudah kurang parah dibandingkan pada fase akut. Pada beberapa individu bisa dijumpai asimtomatis, sedangkan individu lain mengalami gejala nonpsikotik misalnya, merasa tegang (tension), ansietas, depresi, atau insomnia. 2.5. Diagnostik Skizofrenia Paranoid Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ-111) (Maslim, 2003): A. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia. B. Sebagai tambahan berupa: 1. Halusinasi dan/atau waham harus menonjol: a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing). b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual atau lain-lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol. c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau passivity (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam adalah yang paling khas. 2. Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol. 2.6. Pengobatan dan Terapi Gangguan skizofrenia adalah salah satu penyakit yang cenderung berlanjut (kronis, menahun). Oleh karenanya terapi pada skizofrenia memerlukan waktu relative lama berbulan-bulan bahkan bertahun, hal ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (relaps). Terapi pada skizofrenia bersifat komprehensif yaitu meliputi terapi psikofarmaka, psikoterapi, terapi psikososial dan terapi psikoreligius (Hawari, 2006). A. Terapi Psikofarmaka Skizofrenia diobati dengan obat antipsikotik yang tipikal dan atipikal. Obat yang golongan tipikal meliputi: Klorpromazin, Flufenazin, Trioridazin, Haloperidol dan lain-lain, sedangkan obat golongan atipikal meliputi: Klozapin, Olanzapin, Risperidon, Quetapin, Aripiprazol dan lain-lain (Herz & Marder, 2002). Pemakaian antipsikotik dalam menanggulangi skizofrenia telah mengalami pergeseran. Bila mulanya menggunakan antipsikotik tipikal, kini pilihan beralih ke antipsikotik atipikal, yang dinyatakan lebih superior dalam menanggulangi gejala negative dan kemunduran kognitif (Addington D et al., 2005). Adanya perbedaan efek samping yang nyata antara antipsikotik atipikal dan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal: 1. Menimbulkan lebih sedikit efek samping neurologis. 2. Lebih besar kemungkinan dalam menimbulkan efek samping metabolic, misalnya pertambahan berat badan, diabetes mellitus, atau sindroma metabolic (Addington D et al., 2005). Penanggulangan memakai antipsikotik diusahakan sesegera mungkin, bila memungkinkan secara klinik, karena eksaserbasi psikotik akut melibatkan distress emosional, perilaku individu membahayakan diri sendiri, orang lain, dan merusak sekitar (Lehman A.F et al., 2004). Individu terlebih dahulu menjalani pemeriksaan kondisi fisik, vital signs, dan pemeriksaan laboratorium dasar, sebelum memperoleh antipsikotik (Addington D et al., 2005). B. Psikoterapi Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarma sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan pemahaman diri sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka (Hawari, 2006). Psikoterapi ini banyak macamnya tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita sebelum sakit (premorbid), sebagai contoh misalnya: psikoterapi suportif, psikoterapi Re-edukatif, psikoterapi Re-konstruktif, psikoterapi kognitif, psikoterapi psikodinamik, psikoterapi perilaku, psikoterapi keluarga. Secara umum tujuan dari psikoterapi adalah untuk memperkuat struktur kepribadian, mematangkan kepribadian (maturing personality), memperkuat ego (ego strength), meningkatkan citra diri (self esteem), memulihkan kepercayaan diri (self confidence), yang kesemuanya untuk mencapai kehidupan yang berarti dan bermanfaat (meaningfulness of life) (Hawari, 2006). C. Terapi Psikososial Salah satu dampak dari gangguan jiwa skizofrenia adalah terganggunya fungsi social penderita (impairment). Dengan terapi psikososial ini dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi dengan lingkungan social sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap menjalani terapi psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi. Kepada penderita skizofrenia diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan banyak bergaul (silaturahmi/sosialisasi) (Hawari, 2006). 1. Terapi yang Berorientasi Keluarga Terapi yang berorientasi keluarga sangat berguna dalam pengobatab skizofrenia, seringkali pasien dipulangkan dalam keadaan remisi parsial. Ahli terapi harus membantu keluarga dan penderita mengerti skizofrenia, episode psikosis dan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan episode tersebut. Penderita memerlukan perhatian dan empari dari keluarga, itu sebabnya keluarga perlu menghindari sikap Expressed Emotion(EE) atau reaksi berlebihan terhadap penderita. 2. Terapi kelompok Terapi kelompok bagi skizofrenia dipusatkan pada rencana, masalah dan hubungannya dengan kehidupan nyata dan sangat efektif dalam menurunkan isolasi social, meningkatkan rasa persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi penderita skizofrenia. Terapi psikososial ini dimaksudkan agar penderita mampu beradaptasi kembali dengan lingkungan sosialnya dan mampu merawat diri, mandiri dan tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga. Sebaiknya penderita selama menjalani terapi psikososial masih tetap mengkonsumsi psikofarmaka dan diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun dan harus melakukan kesibukan. D. Terapi psikoreligius Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap penderita skizofrenia ternyata menpunyai manfaat. Larson, dkk (1982) dalam penelitiannya membandingkan keberhasilan terapi terhadap dua kelompok penderita. Dari kelompok yang mendapat terapi keagamaan menpunyai respon gejala klinis gangguan jiwa skizofrenia lebih cepat hilang, lamanya perawatan lebih pendek, hendaya (impairment) lebih cepat teratasi, kemampuan adaptasi lebih cepat dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapat terapi keagamaan (Hawari, 2006). Terapi keagamaan yang dimaksudkan dalam penelitian diatas adalah berupa kegiatan ritual keagamaan seperti sholat, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada tuhan, ceramah keagamaan, kajian kitab suci dan lain sebagiannya. Pemahaman dan penafsiran yang salah terhadap agama dapat mencetuskan terjadinya gangguan jiwa skizofrenia, yang dapat diamati dengan adanya gejala-gejala waham (delusi) keagamaan atau jalan pikiran yang patologis dengan pola sentral keagamaan (Hawari, 2006). Dengan terapi psikoreligius ini gejala patologis dengan pola sentral keagamaan tadi dapat diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat dipulihkan kembali ke jalan yang benar. BAB 3 PEMBAHASAN 3.1. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Sensori A. Pengertian TAK stimulasi sensori adalah TAK yang diadakan dengan memberikan stimulus tertentu kepada klien sehingga terjadi perubahan perilaku. B. Bentuk Stimulus (Keliat, 2005) 1. Stimulus suara : Musik. 2. Stimulus visual : Gambar. 3. Stimulus gabungan visual dan suara : Melihat televisi, Video. C. Tujuan 1. Tujuan Umum Setelah dilakukan terapi dalam beberapa jangka waktu diharapkan klien bisa merubah perilakunya dari yang maladaptif menjadi adaptif. 2. Tujuan Khusus TAK Stimulasi sensori bertujuan agar klien mengalami : a) Peningkatan kepekaan terhadap stimulus. b) Peningkatan kemampuan merasakan keindahan. c) Peningkatan apresiasi terhadap lingkungan. D. Jenis TAK 1. TAK stimulasi suara. 2. TAK stimulasi gambar. 3. TAK stimulasi suara dan gambar. 3.2. Tahapan A. TAK Stimulasi Sensori SuaraMendengar Musik 1. Latar Belakang Skizofrenia paranoid adalah jenis skizofrenia yang sering dijumpai di negara manapun menurut DSM-IV-TR kriteria diagnostic pada skizofrenia paranoid harus ditemukan 2 gejala yaitu adanya delusi (waham) dan halusinasi. Adapun kriteria diagnostic lainnya adalah kekacauan ucapan, tingkah laku dan gejala-gejala negative namun ini tidak dominan (Katherine & Patricia, 2000). Dampak dari Skizofrenia Paranoid yaitu dapat mengakibatkan isolasi sosial ; menarik diri, gangguan persepsi sensori : halusinasi, risik o mencederai, defisit perawatan diri. 2. Tujuan a. Tujuan Umum Setelah dilakukan terapi dalam beberapa jangka waktu diharapkan klien bisa merubah perilakunya dari yang maladaptif menjadi adaptif. b. Tujuan Khusus 1) Klien mampu mengenali musik yang didengar; 2) Klien mampu menikmati musik sampai selesai; 3) Klien mempu menceritakan perasaan setelah mendengarkan music. 3. Terapist a. Leader b. Co Leader c. Fasilitator d. Notulen e. Teknisi 4. Setting Peserta duduk melingkar. 5. Alat a. Tape recorder b. Music relegi (shalawat nabi) dilakukan bersama kelompok 6. Metode a. Diskusi b. Sharing Persepsi 7. Langkah-langkah Kegiatan a. Persiapan 1) Membuat kontrak dengan klien yang sesuai indikasi : klien menarik diri, harga diri rendah. 2) Mempersiapkan alat dan tempat. b. Orientasi 1) Salam teraupeutik : Terapis mengucapkan salam. 2) Evaluasi / validasi : Terapis menanyakan perasaan klien hari ini. 3) Kontrak : a) Terapis menjelaskan tujuan kagiatan. b) Terapis menjelaskan aturan main yaitu : (1) Klien harus mengikuti kegiatan dari awal sampai dengan akhir. (2) Bila ingin keluar dari kelompok, klien harus meminta izin kepada terapis. (3) Lama kegiatan 60 menit. c. Kerja 1) Perawat memperkenalkan diri kepada klien yang akan melakukan terapis 2) Terapis mengajak klien untuk saling memperkenalkan diri (nama dan nama panggilan, serta asal), dimulai dari terapis secara beruntun searah jarum jam. 3) Setiap kali seorang klien selesai memperkenalkan diri, terapis mengajak klien untuk bertepuk tangan. 4) Terapis menjelaskan bahwa akan diputar lagu, klien boleh berjoget sesuia irama lagu. Setelah selesai lagu tersebut peserta akan menceritakan isi cerita dari lagu tersebut dan perasaan klien setelah mendengar lagu. 5) Terapis memutar lagu, klien mendengar, boleh juga berjoget. 6) Secara bergantian, klien menceritakan isi lagu dan perasaannya secara bergiliran, sesuai arah jarum jam, sampai semua peserta mendapat giliran. 7) Terapis memberikan pujian setiap klien selesai menceritakan perasaannya. d. Terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK. b) Terapis memberikan pujian atas pencapaian kelompok. 2) Tindak lanjut: Terapis menganjurkan klien untuk mendengarkan musik-musik yang baik dan bermakna dalam kehidupan. 3) Kontrak yang akan datang a) Terapis menyepakati kegiatan TAK berikutnya. b) Terapis menyepakati waktu dan tempat TAK. 8. Evaluasi dan Dokumentasi No Aspek Yang Dinilai Nama Peserta TAK 1 Mengikuti kegiatan sampai akhir 2 Menjelaskan makna lagu 3 Menjelaskan perasaan setelah mendengar lagu Petunjuk : Dilakukan = 1 Tidak dilakukan = 0 B. TAK Stimulasi Sensori Menggambar 1. Latar Belakang Skizofrenia paranoid adalah jenis skizofrenia yang sering dijumpai di negara manapun menurut DSM-IV-TR kriteria diagnostic pada skizofrenia paranoid harus ditemukan 2 gejala yaitu adanya delusi (waham) dan halusinasi. Adapun kriteria diagnostic lainnya adalah kekacauan ucapan, tingkah laku dan gejala-gejala negative namun ini tidak dominan (Katherine & Patricia, 2000). Dampak dari Skizofrenia Paranoid yaitu dapat mengakibatkan isolasi sosial ; menarik diri, gangguan persepsi sensori : halusinasi, risiko mencederai, defisit perawatan diri. 2. Tujuan a. Tujuan Umum Setelah dilakukan terapi dalam beberapa jangka waktu diharapkan klien bisa merubah perilakunya dari yang maladaptif menjadi adaptif. b. Tujuan Khusus 1) Klien dapat mengekspresikan perasaan melalaui gambar. 2) Klien dapat memberi makna gambar. 3. Terapist a. Leader b. Co Leader c. Fasilitator d. Notulen e. Teknisi 4. Setting a. Klien duduk melingkar. b. Tempat tenang dan nyaman. 5. Alat a. Kertas HVS b. Pensil 2B 6. Metode a. Dinamika kelompok b. Diskusi 7. Langkah-langkah Kegiatan a. Persiapan 1) Membuat kontrak dengan klien. 2) Mempersiapkan alat dan tempat. b. Orientasi 1) Salam teraupeutik : Terapis mengucapkan salam. 2) Evaluasi / validasi : Terapis menanyakan perasaan klien hari ini. 3) Kontrak : a) Terapis menjelaskan tujuan TAK. b) Terapis menjelaskan aturan main yaitu : (1) Klien harus mengikuti TAK dari awal sampai dengan akhir. (2) Bila ingin keluar dari kelompok, klien harus meminta izin kepada terapi. (3) Lama kegiatan 60 menit. c. Kerja 1) Perawat/terapis memperkenalkan diri kepada klien yang akan melakukan terapi 2) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan yaitu menggambar dan cerita hasil gambar kepada klien lain. 3) Terapis membagikan kertas dan pensil, satu pasang untuk setiap klien. 4) Terapis meminta klien menggambar apa saja sesuai dengan perasaan hatinya. 5) Sementara klien mulai menggambar, terapis berkeliling dan memberi penguatan kepada klien untuk meneruskan menggambar, jangan mencela klien. 6) Setelah selesai semua menggambar, terapis meminta masing-masing klien untuk menceritakan gambar yang telah dibuatnya. Yang harus di ceritakan adalah gambar apa dan apa makna gambar tersebut menurut klien. 7) Kegiatan dilakukan sampai semua klien mendapat giliran. 8) Setiap kali klien selesai meneritakan gambarnya, terapis mengajak klien lain bertepuk tangan. d. Terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK. b) Terapis memberikan pujian atas pencapaian kelompok. 2) Tindak lanjut : Terapis menganjurkan klien untuk mengekspresikan perasan melalui gambar. 3) Kontrak yang akan datang a) Terapis menyepakati kegiatan TAK berikutnya. b) Terapis menyepakati waktu dan tempat TAK. 8. Evaluasi dan Dokumentasi No Aspek Yang Dinilai Nama Peserta TAK 1 Mengikuti kegitan sampai akhir 2 Menggambar sampai selasai 3 Menceritakan jenis gambar 4 Menceritakan makna gambar Petunjuk : Dilakukan = 1 Tidak dilakukan = 0 C. TAK Stimulasi Sensori Menonton TV/Video 1. Latar Belakang Skizofrenia paranoid adalah jenis skizofrenia yang sering dijumpai di negara manapun menurut DSM-IV-TR kriteria diagnostic pada skizofrenia paranoid harus ditemukan 2 gejala yaitu adanya delusi (waham) dan halusinasi. Adapun kriteria diagnostic lainnya adalah kekacauan ucapan, tingkah laku dan gejala-gejala negative namun ini tidak dominan (Katherine & Patricia, 2000). Dampak dari Skizofrenia Paranoid yaitu dapat mengakibatkan isolasi sosial ; menarik diri, gangguan persepsi sensori : halusinasi, risiko mencederai, defisit perawatan diri. 2. Tujuan a. Tujuan Umum Setelah dilakukan terapi dalam beberapa jangka waktu diharapkan klien bisa merubah perilakunya dari yang maladaptif menjadi adaptif. b. Tujuan Khusus 1) Klien dapat menikmati menonton TV/video yang bermakna positif untuk klien. 2) Klien menceritakan makna acara yang ditonton. 3. Terapist a. Leader b. Co Leader c. Fasilitator d. Notulen e. Teknisi 4. Setting a. Klien duduk membentuk setengah lingkaran di depan TV. b. Ruangan aman dan tenang. 5. Alat a. Video b. Televisi c. VCD 6. Metode Diskusi 7. Langkah-langkah Kegiatan a. Persiapan 1) Membuat kontrak dengan klien. 2) Mempersiapkan alat dan tempat. b. Orientasi 1) Salam teraupeutik : Terapis mengucapkan salam. 2) Evaluasi / validasi : Terapis menanyakan perasaan klien hari ini. 3) Kontrak : a) Terapis menjelaskan tujuan TAK. b) Terapis menjelaskan aturan main yaitu : (1) Klien harus mengikuti TAK dari awal sampai dengan akhir. (2) Bila ingin keluar dari kelompok, klien harus meminta izin kepada terapis. (3) Lama kegiatan 60 menit. c. Kerja 1) Perawat/terapis memperkenalkan diri kepada klien yang akan melakukan terapi 2) Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan yaitu menonton TV/video dan menceritakan makna yang telah di tonton. 3) Terapis memutar TV/video yang telah dipersipkan. 4) Setelah selesai menonton, masing-masing klien diberi kesempatan menceritakan isi tontonan dan maknanya untuk kehidupan klien beruntun searah jarum jam, dimulai dari klien yang ada disebelah kiri terapis. 5) Setiap selesai klien menceritakan persepsinya, terapis mengajak klien lain bertepuk tangan dan memberi pujian, sampai semua klien mendapatkan giliran. d. Terminasi 1) Evaluasi a) Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK. b) Terapis memberikan pujian atas pencapaian kelompok. 2) Tindak lanjut : Terapis menganjurkan klien untuk menonton acara. 3) Kontrak yang akan datang. a) Terapis menyepakati kegiatan TAK berikutnya. b) Terapis menyepakati waktu dan tempat TAK. 8. Evaluasi dan Dokumentasi No Aspek Yang Dinilai Nama Peserta TAK 1 Mengikuti kegitan sampai akhir 2 Menceritakan cerita dalam TV/video 3 Menceritakan makna cerita 4 Menjelaskan perubahan perilaku sesui dengan tontonan Petunjuk : Dilakukan = 1 Tidak dilakukan = 0 BAB 4 PENUTUP 4.1. Kesimpulan Skizofrenia paranoid adalah jenis skizofrenia yang sering dijumpai di negara manapun menurut DSM-IV-TR kriteria diagnostic pada skizofrenia paranoid harus ditemukan 2 gejala yaitu adanya delusi (waham) dan halusinasi. Adapun kriteria diagnostic lainnya adalah kekacauan ucapan, tingkah laku dan gejala-gejala negative namun ini tidak dominan. Penderita dengan skizofrenia paranoid harus segera dilakukan penanganan yang tepat berupa terapi psikofarmaka, psikoterapi, psikososial, dan psikoreligius. Salah satu terapi aktivitas juga sangatlah berperan penting seperti halnya yang dijelaskan dalam bab pembahasan yakni Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Sensori. 4.2. Saran Sebaiknya penerapan pengobatan dan terapi pada pasien skizofrenia paranoid harus lebih diperhatikan lagi khususnya bagi tenaga kesehatan seperti perawat. Karena perawat adalah profesi yang paling dekat dengan pasien dan diharapkan harus memiliki kemampuan dan kompetensi dalam melakukan praktek terhadap pasien skizofrenia paranoid.